Mengukur Kasih Ibu (Cerpen Bertolt Brecht)

Ketika berkecamuk Perang Tiga Puluh Tahun, seorang Swiss beragama Protestan yang bernama Zingli memiliki sebuah bisnis penyamakan kulit yang besar di kota Augsburg yang berada di luar wilayah kerajaan – dalam daerah Lech. Ia menikah dengan seorang wanita Augsburg dan mendapat seorang putera darinya. Ketika orang‑orang Katolik menyerbu kota itu, teman‑temannya telah mendesaknya untuk segera mengungsi. Namun entah karena keluarga kecilnya atau sayang meninggalkan bisnisnya, ia enggan berangkat ketika masih ada waktu.

Maka iapun masih tetap di situ saat para prajurit kerajaan menyerbu kota. Dan sorenya ketika terjadi penjarahan, ia bersembunyi di dalam lubang tempat penyimpanan kulit yang telah disamak yang terletak di halaman rumahnya. Sementara, istrinya sudah siap berangkat dengan anak mereka menuju ke tempat keluarganya di pinggiran kota, namun wanita itu menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mengepak barang‑barangnya yang berupa baju‑baju, perhiasan, dan perabotan ranjang. Maka terjadilah ketika tiba‑tiba dilihatnya melalui sebuah lobang jendela di lantai pertama satu regu tentara kerajaan yang sedang berusaha menerobos masuk ke dalam halaman, ia tak kuasa mengatasi rasa takutnya dan menjatuhkan semua barangnya lalu melarikan diri melalui pintu belakang.

Dengan demikian anaknyapun tertinggal di dalam rumah. Balita itu terbaring di dalam buaiannya di aula rumah yang luas dan asyik bermain dengan sebuah bola kayu yang digantungkan dari langit‑langit dengan seutas benang.

Hanya seorang gadis pembantu yang masih berada di rumah tadi. Saat itu ia sedang sibuk dengan panci‑panci dan periuk‑periuk tembaga di dapur ketika terdengar suara ribut‑ribut di jalanan. Iapun berlari cepat ke sebuah jendela, dari sana terlihat para tentara yang sedang melempar berbagai macam barang rampasan ke jalanan dari lantai pertama rumah seberang. Lalu ia berlari ke aula dan baru saja hendak mengambil si kecil dari buaiannya ketika terdengar hantaman keras di pintu depan yang terbuat dari kayu ek. Sang gadis dicekam kepanikan dan berlari ke atas tangga.

Aula itupun dipenuhi para prajurit yang mabuk, mereka membanting apa saja sampai berkeping‑keping. Mereka tahu bahwa saat itu sedang berada di rumah seorang Protestan. Sungguh suatu keajaiban bagi Anna, sang gadis pembantu, ia tetap tak diketemukan selama terjadi penggeledahan dan penjarahan itu. Setelah para serdadu tadi enyah, dengan buru‑buru Anna segera keluar dari lemari tempat persembunyiannya tadi dan mendapati si kecil yang berada di aula juga dalam keadaan selamat. Iapun lalu mengangkatnya dan berjalan mengendap‑endap menuju ke halaman. Ketika itu malam telah turun, namun cahaya merah dari rumah sebelah yang terbakar menerangi halaman itu. Dan dengan ngeri iapun bisa menyaksikan mayat majikannya. Para tentara tadi telah menyeret pria itu dari lubang persembunyiannya kemudian membantainya. Baru kini gadis itu menyadari betapa berbahayanya kalau sampai tertangkap di jalanan bersama anak Protestan tersebut. Dengan berat hati dibaringkannya lagi sang balita ke dalam buaiannya, memberinya susu dan mengayun‑ayunkannya hingga tertidur. Kemudian ia pergi mencari jalan ke wilayah lain di kota itu di mana kakak perempuannya yang telah menikah tinggal.

Pada sekitar pukul sepuluh malam dengan ditemani suami kakaknya, gadis itu berjalan berjejal‑jejal di antara gerombolan serdadu yang sedang merayakan kemenangan mereka untuk pergi ke pinggiran kota dan mencari Nyonya Zingli, ibu anak tadi. Mereka mengetuk‑ngetuk pintu sebuah rumah yang bagus, dan setelah agak lama barulah pintunya dibuka sedikit.

Seorang pria tua berperawakan kecil, paman Nyonya Zingli, menjulurkan kepalanya. Dengan terengah‑engah Anna memberitahu bahwa Tuan Zingli telah meninggal tapi anaknya masih selamat di rumah itu. Laki‑laki tua tersebut memandangnya dengan dingin dan mengatakan bahwa keponakan perempuannya sudah tidak lagi berada di situ, sedangkan dirinya sendiri cuci tangan terhadap anak jadah Protestan tersebut. Setelah berkata demikian iapun kembali menutup pintu. Ketika mereka beranjak, kakak ipar Anna memperhatikan sebuah gorden bergerak‑gerak dari salah satu jendela dan merasa yakin bahwa Nyonya Zingli berada di sana. Tampaknya perempuan itu tidak merasa malu sedikitpun tidak mengakui anaknya sendiri.

Anna dan kakak iparnya berjalan berdampingan dalam kebisuan untuk beberapa saat. Kemudian ia menyatakan bahwa ia akan kembali ke tempat penyamakan kulit tadi dan mengambil si kecil. Kakak iparnya, seorang pria yang terpandang, terperanjat mendengarnya dan berusaha mencegah gagasan yang berbahaya ini. Memangnya orang‑orang itu apanya dia? Bahkan selama ini diapun tidak pernah mendapatkan perlakuan yang layak dari mereka.

Anna mendengarkannya sampai selesai berbicara dan berjanji tidak akan melakukan tindakan yang gegabah. Meski demikian, ia harus singgah secepatnya ke tempat penyamakan itu untuk melihat apakah sang balita membutuhkan sesuatu. Dan ia ingin pergi sendiri.

Ia berkeras melaksanakan niatnya. Di tengah‑tengah aula yang porak‑poranda si kecil terbaring dengan damai dan lelap dalam tidurnya. Dengan hati‑hati Anna duduk di sisinya dan memandanginya. Ia tidak berani menyalakan lampu, namun rumah sebelah masih terbakar dan dari cahayanya gadis itu dapat memandang sang balita dengan agak jelas. Di lehernya yang mungil terdapat tahi lalat kecil.

Ketika ia memandangi si kecil yang sedang menarik napas dan mengisap jempolnya yang mungil selama beberapa saat, kira‑kira satu jam, ia menyadari bahwa ada semacam perasaan berat untuk meninggalkan anak itu. Dengan enggan iapun bangkit dan menyelimuti si kecil dengan lembut dengan menggunakan alas sepreinya, kemudian membopongnya dan membawanya pergi dari situ. Ia berjalan mengendap‑endap seperti seorang pencuri.

Setelah berkonsultasi lama dengan kakak perempuan dan iparnya, dua pekan kemudian ia membawa anak tadi ke desa di Daerah Grossaitingen, di mana kakak laki‑laki tertuanya tinggal sebagai petani. Tanah pertanian di sana adalah milik istrinya, yang karena itu ia nikahi. Sesuai kesepakatan semula bahwa langkah terbaik adalah tidak menceritakan kepada orang lain kecuali kakak laki‑lakinya tersebut tentang jati diri anak itu, sebab mereka tidak percaya kepada istri yang masih muda itu dan tidak tahu bagaimana sikapnya nanti dalam menerima tamu kecil yang sangat berbahaya ini.

Anna mencapai desa itu sekitar tengah hari. Kakak laki‑laki dan istrinya serta para pekerja sedang berada di meja makan. Ia tidak disambut dengan buruk, namun setelah sekilas melihat sikap kakak ipar perempuannya yang baru, ia memutuskan untuk memperkenalkan balita itu sebagai anaknya sendiri. Mulanya mereka agak ragu sampai ia menjelaskan bahwa suaminya mendapat pekerjaan di sebuah pabrik di desa tetangga yang agak jauh dan mengharap agar istri dan anaknya sementara berada di situ dulu selama beberapa pekan. Hati wanita petani itupun akhirnya bisa diluluhkan dan si kecil bisa diterima dengan wajar.

Lepas tengah hari ia menemani kakak laki‑lakinya mengumpulkan kayu. Saat mereka berdua duduk di atas tumpukan potongan kayu, Anna pun menceritakan kejadian yang sebenarnya. Dia dapat melihat kesulitan pada diri kakaknya. Posisi pria itu di tanah pertanian ini masih belum kuat dan ia menghargai Anna karena telah menjaga lidahnya waktu di depan istrinya tadi. Adalah jelas bahwa pria tersebut tidak menganggap istrinya memiliki kelapangan hati terhadap anak Protestan itu. Ia meminta sandiwara ini terus dilanjutkan. Meskipun demikian, tidaklah mudah ketika waktu terus bergulir.

Anna ikut bantu‑bantu ketika mereka panenan dan mengasuh ‘anaknya’ di sela‑sela itu. Dengan rutin ia bolak‑balik dari ladang ke rumah ketika yang lainnya sedang istirahat. Si kecilpun tumbuh besar dan montok, ia tertawa tergelak‑gelak ketika melihat Anna dan berusaha mengangkat kepalanya. Namun kemudian datanglah musim dingin dan sang kakak ipar pun mulai bertanya‑tanya tentang suami Anna.

Bagi Anna sendiri tidak ada masalah tinggal di tanah pertanian itu, ia bisa ikut bantu‑bantu. Masalahnya adalah bahwa para tetangga sudah mulai curiga tentang siapa ayah dari ‘anaknya’ Anna itu, sebab laki‑laki tersebut tak pernah datang menjenguk keadaan anaknya. Kalau Anna tidak dapat mencarikan seorang ayah bagi anaknya, maka tak lama lagi tanah pertanian itu akan menjadi bahan pergunjingan.

Pada suatu hari ahad pagi sang petani mempersiapkan kudanya dan berteriak memanggil Anna agar ikut dengannya untuk mengambil seekor anak sapi dari desa tetangga. Ketika mereka sedang duduk terguncang‑guncang di perjalanan, sang kakak memberitahukan kepadanya bahwa ia telah menemukan seorang suami untuknya. Pria yang dimaksud adalah seorang pemilik gubuk yang ketika mereka berdua bertandang ke gubug jeleknya itu, hampir tak dapat mengangkat kepalanya yang  tak terawat dari selimut kumalnya.

Ia bersedia menikahi Anna. Sementara ibunya, seorang perempuan berkulit pucat, berdiri di pinggiran dipan. Perempuan tua itu akan mendapat imbalan atas jasanya kepada Anna.

Tawar‑menawar itupun selesai dalam waktu sepuluh menit, lalu Anna dan kakaknya pun bisa melanjutkan perjalanan dan membeli anak sapi mereka. Pernikahannya pun dilangsungkan pada akhir pekan itu juga. Ketika pendeta sedang melaksanakan upacara pernikahan, laki‑laki yang tengah sekarat tadi tak sekalipun melihat ke arah Anna. Kakaknya tidak ragu lagi bahwa adiknya nanti akan mendapat sertifikat kematian dalam waktu beberapa hari saja. Lalu suami Anna tersebut, ayah dari si bocah, akan mati di suatu tempat di sebuah desa dekat Augsburg di tengah perjalanan menemui istrinya dan tak seorangpun akan punya pikiran lain jika sang janda tinggal di rumah kakak laki‑lakinya.

Anna pulang dengan riang‑gembira dari pernikahannya yang ganjil tersebut, di mana tidak terdengar lonceng‑lonceng gereja atau adanya pita kuning, pengiring pengantin, dan tamu‑tamu undangan. Sebagai jamuan pernikahan ia menyantap sepotong roti dengan seiris daging babi di atas meja makan. Setelah itu ia berjalan bersama kakaknya ke peti kayu di mana si kecil berada dan yang kini sudah punya nama. Diselempitkannya kain penutupnya lebih rapat dan tersenyum kepada kakaknya. Sertifikat kematian itu pasti akan tiba.

Akan tetapi tak ada berita dari perempuan tua tadi pada pekan berikutnya dan setelahnya. Di tanah pertanian itu Anna telah memberitahukan bahwa suaminya sedang dalam perjalanan ke tempatnya. Ketika ia ditanyai kenapa laki‑laki tersebut sampai sekarang belum datang‑datang juga, ia mengatakan bahwa pasti salju yang tebal menyulitkan perjalanannya. Namun setelah tiga pekan berikutnya berlalu, kakaknya yang sangat kebingungan berangkat ke desa dekat Augsburg.

Ia pulang kembali ketika malam telah larut. Anna masih terjaga dan berlari ke pintu saat didengarnya bunyi roda di pekarangan. Ia memperhatikan betapa lambannnya sang petani melepas ikatan kudanya dan ketegangan pun menyelinap di hatinya.

Pria itu membawa berita buruk. Tadi ketika berkunjung ke pondok dilihatnya laki‑laki yang dulu sekarat itu sedang asyik duduk di depan meja makan dengan berpakaian santai dan tengah menikmati santapan malamnya dengan lahap. Ia benar‑benar telah pulih.

Sang petani tidak melihat ke wajah Anna ketika ia meneruskan ceritanya. Pemilik gubuk tadi, yang singkat kata bernama Otterer, dan ibunya sama‑sama takjub atas perubahan yang terjadi dan barangkali belum memutuskan tentang apa yang akan dilakukan. Otterer tidak menunjukkan kesan yang tidak menyenangkan. Ia hanya bicara sedikit, tapi langsung ke pokoknya. Ketika sang ibu menyesali bahwa kini ia telah dibebani oleh seorang istri yang tak dikehendaki dan seorang bocah asing, ia menyuruh ibunya itu diam. Sementara ia terus melahap kejunya dengan santai sepanjang percakapan dan masih terus makan saat sang petani beranjak pulang.

Di hari‑hari berikutnya Anna punya banyak masalah. Di sela‑sela pekerjaan rumah tangganya ia mengajari si kecil berjalan. Ketika bocah itu dilepas oleh kerabatnya dan berjalan tertatih‑tatih kepadanya dengan membentangkan kedua lengan kecilnya, Anna menahan isaknya dan mendekapnya erat‑erat ketika mengangkatnya.

Suatu ketika ia pernah bertanya kepada kakaknya, “Seperti apa sih laki‑laki itu?”

Dulu ia hanya melihatnya ketika terbaring di atas ranjang kematian dan kemudian pada sore itu di bawah cahaya lilin yang remang‑remang. Kini baru ia tahu bahwa suaminya itu seorang pria pekerja keras berusia lima puluh tahunan.

Tak lama setelah itu, ia pun menjumpainya. Dengan penuh kerahasiaan seorang pedagang keliling menyampaikan pesan kepadanya bahwa seorang kenalan ingin bertemu dengannya pada tanggal tertentu, di waktu tertentu, dekat desa tertentu, di sebuah tempat di mana terdapat jalan setapak yang menuju ke Landsberg. Maka pasangan pengantin itupun bertemu di tengah‑tengah jalan yang menghubungkan desa mereka, di tempat terbuka yang diselimuti salju.

Anna tidak menyukai pria itu. Giginya kecil‑kecil berwarna abu‑abu. Ia memandangi Anna dari atas ke bawah, padahal wanita itu terbungkus rapat di dalam bulu domba yang tebal dan tak banyak yang bisa dilihat, lalu mengucapkan sakramen pernikahan. Dengan ketus ia mengatakan kepada pria itu bahwa ia harus berpikir lagi dan bahwa laki‑laki itu harus menyuruh beberapa orang pedagang dan tukang daging yang melewati Grossaitingen untuk memberitahukan kepadanya di depan kakak ipar perempuannya bahwa pria itu akan segera datang sekarang dan bahwa kemarin‑kemarinnya ia telah jatuh sakit di perjalanan.

Otterer mengangguk dengan santai. Pria itu lebih tinggi satu kepala darinya dan terus‑menerus menatap ke leher kirinya selama mereka berbicara sehingga membuatnya jengkel.

Namun pesan itu tak pernah datang, dan Anna pun menimbang‑nimbang untuk meninggalkan saja tanah pertanian itu bersama si kecil dan mencari kerja jauh ke selatan, barangkali ke Kempten atau Sonthofen. Hanya karena resiko di jalan raya yaitu terlalu banyak perbincangan dan kenyataan bahwa saat itu sedang di tengah‑tengah musim dingin yang mengurungkan niatnya.

Tapi sekarang keberadaannya di tanah pertanian itu semakin sulit. Kakak iparnya mengajukan pertanyaan‑pertanyaan bernada curiga kepadanya tentang suaminya saat mereka sedang berada di meja makan di depan semua pekerja ketika sedang makan malam.

Pada suatu ketika saat ia sudah keterlaluan yaitu sambil memandang bocah itu sekilas kemudian berseru dengan perasaan iba yang dibuat‑buat, “Oh, anak yang malang!” Anna pun memutuskan untuk pergi apapun resikonya, tapi ketika itu si kecil jatuh sakit.

Ia terbaring gelisah di peti kayunya dengan wajah yang merah dan mata sembab. Anna pun mengawasinya terus‑menerus setiap malam dengan perasaan cemas. Ketika si kecil mulai pulih lagi dan senyumannya pun kembali, terdengar ketukan di pintu pada suatu pagi dan Otterer pun masuk ke dalam.

Tak ada orang lain di ruangan itu kecuali Anna dan si kecil. Mereka berdua berdiri mematung beberapa saat tanpa kata, kemudian Otterer menyatakan bahwa dari pihaknya ia telah mempertimbangkan, dan datang kemari untuk menjemput mereka. Sekali lagi ia mengingatkan ke sakramen pernikahan. Anna menjadi marah. Secara tegas meski dengan pelan ia mengatakan bahwa tidak terpikir olehnya untuk hidup bersama laki‑laki tersebut. Ia mau menikahinya hanya semata‑mata demi anak itu dan tidak menginginkan apapun darinya kecuali memberikan namanya untuk dia dan anak itu.

Sementara Anna menyebut anak itu Otterer melirik sekilas ke peti kayu di mana si kecil sedang mendeguk‑deguk tanpa ada niatan sama sekali untuk mendekatinya. Hal ini membuat Anna makin benci kepadanya.

Pria itu menyampaikan beberapa hal; Anna hendaknya mempertimbangkan lagi, di rumahnya ada sedikit makanan dan ibunya bisa tidur di dapur. Beberapa saat kemudian sang kakak ipar perempuan pun masuk ke dalam, menyapa sang suami dengan rasa ingin tahu dan mengundangnya makan malam. Laki‑laki itu baru saja duduk di depan meja ketika ia menyapa sang petani dengan sebuah anggukan yang acuh tak acuh, tapi juga tidak berpura‑pura kalau dia tidak mengenalnya atau mengingkari kalau sudah kenal. Atas pertanyaan‑pertanyaan yang diajukan oleh ipar perempuannya, hanya dijawabnya dengan singkat‑singkat saja tanpa pernah mengalihkan pandangan dari piringnya. Dikatakannya bahwa ia mendapat sebuah pekerjaan di Mering dan Anna bisa bergabung bersamanya. Namun ia tidak lagi menyarankan untuk ikut saat itu juga.

Selama lepas tengah hari ia menghindari untuk kumpul‑kumpul bersama kakak ipar laki‑laki dan teman‑temannya, namun justru membelah kayu sendirian di belakang rumah, padahal tak seorangpun yang memintanya. Setelah makan malam di mana pria itu sekali lagi ambil bagian dengan diam, kakak ipar perempuannya sendiri yang mengantarkan kasur bulu ke kamar Anna agar suaminya bisa bermalam di sana. Namun justru karena itu, entah kenapa, ia malahan bangkit dengan canggung dan menggerutu bahwa ia mesti pulang malam itu. Sebelum pergi, ia menatap dengan pandangan kosong ke peti tempat si kecil terbaring, namun tidak mengatakan apapun dan tidak pula menyentuhnya.

Malam itu Anna jatuh sakit dan menderita demam sampai beberapa pekan. Kebanyakan waktunya dihabiskan dengan lesu, hanya sesekali ketika menjelang tengah hari, saat demamnya agak reda, ia merangkak ke peti si kecil dan menyelempitkan selimutnya.

Pada pekan ke empat dari sakitnya, Otterer memacu keretanya memasuki pekarangan dan membawa pergi Anna serta bocah itu. Anna membiarkan saja tanpa berkata sepatahpun.

Agak lama barulah ia memperoleh kembali kekuatannya karena hanya menyantap sop encer di gubug itu. Tapi pada suatu pagi ketika ia memperhatikan betapa si kecil nampak demikian kotor dan terabaikan maka iapun memutuskan untuk bangkit.

Si kecil menyambutnya dengan senyum akrabnya, yang oleh kakak laki‑lakinya selalu dikatakan seperti senyumannya Anna. Bocah itu terus tumbuh dan kini merangkak ke seluruh ruangan dengan cepatnya, memukul‑mukulkan telapak tangannya di atas lantai dan menjerit‑jerit kecil tiap kali jatuh tertelungkup. Anna memandikannya di bak kayu dan memperoleh kembali kepercayaan dirinya.

Beberapa hari kemudian, bagaimanapun juga, ia tidak dapat tinggal di gubug itu lebih lama lagi. Ia membungkus si kecil dengan sedikit selimut, membawa sepotong roti dan keju di dalam tasnya lalu minggat.

Ia bermaksud mencapai Sonthofen, tapi tak berhasil berjalan jauh. Kedua lututnya masih sangat lemah sementara jalan raya masih licin dan sebagai dampak peperangan, masyarakat di desa‑desa sangat sensitif dan mudah curiga.

Pada hari ketiga pengembaraannya, salah satu kakinya terperosok ke dalam sebuah selokan dan setelah berjam‑jam mengkhawatirkan keadaan si kecil, iapun dibawa ke sebuah tanah pertanian di mana ia bisa berlindung di gudang. Si kecil merangkak‑rangkak di antara kaki‑kaki sapi dan hanya tertawa‑tawa saja ketika Anna berteriak‑teriak dengan cemas. Pada akhirnya ia harus mengatakan kepada orang‑orang di tanah pertanian itu tentang nama suaminya dan laki‑laki itupun membawanya kembali ke Mering.

Mulai sekarang ia tidak lagi berusaha melarikan diri dan pasrah menerima nasibnya. Ia bekerja keras. Sungguh sulit memperoleh suatu hasil dari sebidang tanah yang kecil dan menjaganya agar tetap berjalan. Meski demikian laki‑laki itu tidak berlaku buruk kepadanya dan si kecil juga bisa makan sekenyang‑kenyangnya. Lagi pula kakak laki‑lakinya pun kadang‑kadang berkunjung sambil membawakan aneka bingkisan. Dan suatu ketika Anna bahkan bisa memperoleh sebuah mantel mungil yang dicelup warna merah untuk si kecil. Menurutnya mantel itu sangat pantas untuk anak seorang saudagar kulit.

Seiring irama waktu ia semakin menikmati dan mengalami banyak kesenangan dalam mengasuh si kecil. Maka beberapa tahun pun berlalu.

Namun suatu hari ketika ia pergi membeli sirup ke desa dan sekembalinya mendapati bocah itu sudah tidak berada lagi di pondoknya dan suaminya pun menceritakan padanya bahwa tadi ada seorang wanita berpakaian elok singgah dengan kereta kudanya dan membawa si kecil. Anna pun terhuyung‑huyung menuju tembok dengan histeris.

Dan sore itu juga dengan tidak membawa apapun kecuali sebungkus makanan ia pergi ke Augsburg. Pertama kali yang dikunjunginya di kota kerajaan itu adalah tempat penyamakan kulit. Di sana ia tidak diijinkan masuk dan tidak bisa melihat si kecil.

Kakak perempuan dan iparnya sia‑sia saja menghibur Anna. Ia pergi mengadu kepada para penguasa dan tak dapat menahan dirinya untuk berteriak bahwa anaknya telah dicuri. Bahkan ia pun bertindak lebih jauh lagi sampai‑sampai mengisyaratkan bahwa orang‑orang Protestan telah mencuri anaknya. Tapi kemudian dia tahu bahwa kini jaman telah berubah dan perdamaian telah berlaku antara orang‑orang Katolik dengan Protestan.

Hampir saja usahanya tidak akan mencapai hasil apa‑apa kalau tidak karena sepotong keberuntungan yang datang membantunya. Kasusnya diserahkan kepada seorang hakim yang sungguh luar biasa. Ia adalah hakim Ignaz Dollinger yang tersohor di seluruh Swabia karena kekasaran dan pengetahuannya yang luas. Dikenal oleh para anggota dewan Bavaria yang sengketa hukum mereka dengan Kota Kerajaan diselesaikan dan diputuskan olehnya. Sebagai ‘orang tolol dari Latin ini’ tapi dikenang oleh masyarakat dalam sebuah balada yang panjang.

Dengan ditemani oleh kakak perempuan dan ipar laki‑lakinya, Anna pergi menghadapnya. Seorang laki‑laki tua yang pendek tapi sangat gendut duduk di antara setumpuk dokumen di sebuah ruangan kecil yang sama sekali tanpa hiasan dan mendengar seluruh pengaduannya dengan sangat singkat. Lalu ia menulis sesuatu, setelah itu menggeram; “Jalan ke sana dan cepatlah!”

Dan dengan telapak tangannya yang kecil tapi gemuk ia menunjuk ke sebuah tempat di ruangan itu di mana cahaya bisa masuk melalui sebuah jendela sempit. Selama beberapa menit ia mempelajari wajah Anna dengan cermat, lalu menyuruhnya pergi dengan sebuah dengusan.

Pada hari berikutnya ia mengirim seorang petugas untuk menjemput Anna, dan ketika wanita itu masih berada di ambang pintu ia sudah berteriak:

“Kenapa engkau tidak bilang saja bahwa kau sedang mengincar tempat penyamakan kulit itu beserta kekayaan yang ada bersamanya, ha?!”

Anna bersikeras mengatakan bahwa yang diinginkannya adalah si kecil.

“Jangan coba‑coba berpikir bahwa kau bisa menyerobot tempat penyamakan kulit itu!” teriak sang hakim. “Kalau anak haram jadah itu memang milikmu, maka harta tadi akan jatuh ke tangan para kerabat Zingli!”

Anna mengangguk tanpa melihat ke arahnya, lalu berkata: “Anak itu tidak membutuhkan tempat penyamakan kulit itu.”

“Dia anakmu?!” tanya sang hakim membentak.

“Ya,” jawab Anna dengan lembut. “Kalau aku dapat memeliharanya sampai bisa berkata‑kata, sejauh ini ia hanya tahu tujuh.”

Sang hakimpun batuk‑batuk dan membereskan dokumen‑dokumen di mejanya. Kemudian ia berkata lebih pelan meskipun dengan nada yang masih menyakitkan:

“Kau menginginkan anak bengal itu sementara perempuan jalang yang punya lima rok sutera itu juga menginginkannya. Namun yang diinginkan si bocah adalah seorang ibu sejati.”

“Ya,” sahut Anna dan iapun menatap sang hakim.

“Selesai denganmu,” geramnya. “Sidang dilangsungkan hari sabtu.”

Pada hari sabtu jalan utama dan halaman di luar balai kota sampai dengan Menara Perlach disemuti oleh massa yang ingin mengikuti jalannya sidang atas anak Protestan tersebut. Kasus yang luar biasa ini telah menimbulkan kegemparan hebat sejak awalnya. Dan di rumah‑rumah serta di kedai‑kedai minum pun terjadi perdebatan‑perdebatan seru mengenai siapa sesungguhnya ibu yang asli dan yang palsu. Lebih dari itu, si tua Dollinger telah dikenal luas karena proses persidangannya yang sederhana serta ucapan‑ucapan sengit dan ungkapan‑ungkapan bijaknya. Pengadilannya lebih populer daripada pertunjukan dan pasar malam.

Dengan demikian maka bukan hanya penduduk Augsburg saja yang bergerombol di luar balai kota, tidak sedikit para pemilik tanah pertanian yang datang dari desa‑desa sekitarnya. Jum’at adalah hari pasaran dan untuk mengantisipasi pengadilan besok, mereka menginap di kota itu.

Aula di mana Hakim Dollinger biasa mendengarkan argumentasi persidangan disebut Aula Keemasan. Terkenal di seluruh Jerman sebagai satu‑satunya balai yang seukuran itu yang tanpa pilar‑pilar. Langit‑langitnya digantungkan dari kasok dengan rantai‑rantai.

Hakim Dollinger duduk, ia seperti segumpal daging bundar kecil, di depan sebuah gerbang logam yang tertutup sepanjang sebuah tembok. Terlihat seutas tali tambang sebagai pembatas publik membentuk lingkaran. Tapi sang hakim duduk di atas lantai terbuka dan tak ada meja di depannya. Ia telah membuat tatanan seperti ini sejak bertahun‑tahun yang lalu, dia sangat percaya dalam hal penataan segala sesuatu pada tempatnya yang sesuai.

Di dalam lingkaran tali tadi terdapat Nyonya Zingli beserta kedua orang tuanya, dua orang kerabat Tuan Zingli yang baru saja datang dari Swiss dengan penampilan mereka yang necis seperti orang kaya dan Anna Otterer bersama kakak perempuannya. Seorang perawat yang membopong si kecil nampak berdiri di sisi Nyonya Zingli.

Masing‑masing orang, para pihak yang bersengketa dan para saksi, berdiri. Hakim Dollinger biasa berkata bahwa sidang akan lebih cepat kalau para pesertanya berdiri. Tapi barangkali juga dia menyuruh mereka berdiri agar bisa menyembunyikan dirinya dari publik, dengan begitu seseorang hanya dapat melihatnya kalau berjinjit dan melongokkan kepalanya.

Ketika proses persidangan itu dimulai terjadilah satu insiden kecil. Ketika Anna melihat bocah itu, spontan ia memekik dan melangkah maju dan anak itupun berusaha pergi arahnya. Ia meronta‑ronta sekuat tenaga dan menjerit‑jerit di dalam gendongan sang perawat. Sang hakim memerintahkan agar ia dibawa keluar dari balai itu.

Selanjutnya iapun memanggil Nyonya Zingli. Wanita itupun maju ke depan dengan berisik dan bercerita sambil sesekali menyeka matanya dengan sapu tangan kecil bagaimana ketika para serdadu kerajaan itu merenggut sang putra dari tangannya waktu terjadi penjarahan. Pada malam yang sama si gadis pembantu datang ke tempat ayahnya dan melaporkan bahwa si kecil masih berada di rumah, barangkali dengan harapan untuk memperoleh imbalan. Namun ketika salah seorang tukang masak ayahnya diutus ke penyamakan, ia tidak menemukan anak itu. Dan iapun lalu menduga bahwa orang ini, maksudnya Anna, telah membawanya dalam rangka supaya bisa memeras sejumlah uang dengan suatu cara atau apalah nantinya. Tak diragukan bahwa cepat atau lambat pada akhirnya dia akan datang dengan suatu permintaan sebelum melepaskan anak itu.

Hakim Dollinger memanggil dua orang kerabat Tuan Zingli dan menanyai mereka apakah mereka telah mencari tahu tentang keadaan Tuan Zingli saat itu dan bagaimana jawaban Nyonya Zingli.

Mereka bersaksi bahwa Nyonya Zingli telah memberitahu kepada mereka bahwa suaminya telah terbunuh dan bahwa wanita itu telah mempercayakan puteranya kepada seorang gadis pembantu di mana ia akan mendapat pemeliharaan yang baik. Mereka berbicara tentang Nyonya Zingli dengan cara yang sangat tidak bersahabat yang tentu saja tidaklah aneh karena kekayaan itu akan jatuh ke tangan mereka kalau Nyonya Zingli sampai kalah dalam perkara ini.

Untuk membuktikan kebenaran mereka sang hakim beralih kembali kepada Nyonya Zingli dan ingin tahu darinya kenapa dengan mudahnya ia tidak kehilangan lehernya saat serangan itu dan mengabaikan anaknya.

Nyonya Zingli menatapnya dengan kedua bola mata birunya yang pucat seakan‑akan keheranan dan berkata dengan nada pedih bahwa ia tidak mengabaikan anaknya.

Hakim Dollinger menyeka lehernya dan menanyainya dengan penuh selidik apakah wanita itu percaya bahwa tak ada ibu yang sampai hati mengabaikan anaknya.

Ya, ia yakin akan hal itu, jawab wanita tadi dengan tegas. Lalu apakah ia percaya, tanya sang hakim lebih jauh, bahwa seorang ibu yang meskipun begitu telah melakukannya, harus didera punggungnya tanpa memandang berapapun banyaknya rok yang dia pakai?

Nyonya Zingli tidak menjawab dan sang hakim pun memanggil sang mantan gadis pembantu, Anna. Iapun melangkah dengan cepat dan dengan suara pelan mengatakan kembali apa yang pernah dikatakannya pada pemeriksaan awal sebelumnya. Namun ia berbicara dengan seakan‑akan juga sambil mendengarkan pada saat yang bersamaan, dan sesekali melirik ke pintu besar di mana si kecil tadi dibawa, seolah‑olah ia khawatir balita itu masih menjerit‑jerit.

Anna bersaksi bahwa meskipun ia telah mengunjungi rumah paman Nyonya Zingli pada malam itu, ia tidak kembali lagi ke tempat penyamakan kulit karena takut terhadap tentara‑tentara kerajaan dan karena khawatir atas keadaan anak tidak sahnya yang dititipkan bersama orang‑orang baik di desa tetangga Lechhausen.

Si tua Dollinger dengan kasar memotong pembicaraannya dan menghardik bahwa pada akhirnya ada juga seseorang di kota itu yang punya perasaan seperti takut. Ia senang menemukan kenyataan itu, yang membuktikan bahwa setidaknya ada seseorang di kota itu yang punya perasaan semacam itu saat itu. Tentu saja tidak lucu bagi seorang saksi bahwa ia hanya mempedulikan anaknya saja, tapi di sisi lain sebagaimana dinyatakan dalam sebuah ungkapan yang terkenal, bahwa darah lebih kental daripada air. Dan seorang ibu akan berusaha keras mencuri demi anaknya meski hal ini sangat dilarang oleh hukum.

Kemudian iapun menyampaikan salah satu pelajaran yang bijak dan tajam mengenai kekejian orang‑orang yang menipu pengadilan sampai wajah mereka hitam, dan setelah melantur sedikit tentang para petani yang mencampur air pada susu sapinya dan dewan kota yang memungut pajak terlalu tinggi kepada para petani, yang mana hal tersebut tentu saja tidak ada hubungannya sama sekali dengan kasus ini, ia menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap para saksi telah selesai dan tidak berhasil menarik kesimpulan.

Kemudian ia jeda dalam waktu lama dan memperlihatkan tanda‑tanda menyerah. Tampak seolah‑olah ia berharap ada seseorang yang bisa memberikan saran bagaimana caranya untuk mencapai penyelesaian.

Orang‑orang pun saling melihat satu sama lain dengan bingung dan beberapa dari mereka mengangkat lehernya agar bisa melihat sekilas hakim yang tidak berdaya itu. Namun di balai itu suasananya tetap hening, hanya terdengar suara kerumunan orang yang berada di jalan di bawah sana.

Kemudian sambil mendesah sang hakim berbicara lagi.

“Ini bukan untuk menentukan siapa ibu kandung sesungguhnya,” katanya. “Anak itu harus dikasihani. Kita semua pernah mendengar tentang para ayah yang mengelak dari tanggung jawabnya dan tidak mau menjadi ayah, namun para bajingan! Tapi di sini terdapat dua orang ibu yang sama‑sama menuntut. Sidang pengadilan telah mendengarkan mereka selama selayaknya, yakni masing‑masing lima menit penuh, dan sidang pengadilan pun telah diyakinkan oleh argumen‑argumen mereka berdua. Namun, sebagaimana telah dikatakan tadi, kita masih harus memikirkan tentang si kecil yang harus mendapatkan seorang ibu. Oleh sebab itu harus dibuktikan, tidak cukup hanya dengan ocehan, siapakah ibu anak ini yang sesungguhnya.”

Dan dengan suara kesal dipanggilnya seorang petugas kemudian menyuruhnya membawa sebatang kapur. Petugas itupun pergi dan mengambilnya.

“Gambarlah sebuah lingkaran yang cukup besar dengan kapur itu di atas lantai agar bisa muat untuk tiga orang berdiri di dalamnya!” perintah sang hakim selanjutnya.

Petugas itupun berjongkok dan menggambar lingkaran tadi dengan kapur seperti yang diperintahkan.

“Sekarang bawa anak itu kemari!” lanjutnya.

Bocah itupun dibawa masuk. Ia menangis lagi dan berusaha pergi ke arah Anna. Si tua Dollinger tidak mempedulikan tangisan itu dan semata‑mata hanya memberikan instruksinya dengan suara yang agak lebih keras.

“Ujian yang sebentar lagi akan dilaksanakan,” ujarnya, “kutemukan dalam sebuah buku kuno dan tampaknya sangat baik. Secara sederhana, ide dasar dari ujian dengan lingkaran kapur ini adalah bahwa ibu yang sesungguhnya akan diketahui dari kecintaannya kepada sang anak. Di sinilah kekuatan dari cinta tadi harus diuji. Petugas, letakkan bocah itu ke dalam lingkaran kapur tad!”

Sang petugas pun mengambil anak yang masih menangis tadi dari tangan sang perawat dan membawanya ke dalam lingkaran tersebut. Sang hakim melanjutkan sambil berpaling kepada Nyonya Zingli dan Anna:

“Kalian berdua masuklah dan berdiri di dalam lingkaran itu juga. Masing‑masing memegang salah satu lengan si kecil dan kalau aku berkata: Ya! tarik sekuat‑kuatnya anak itu keluar dari lingkaran. Siapa saja di antara kalian yang paling kuat cintanya, pastilah juga akan menarik dengan kekuatan yang lebih besar dan dengan demikian akan membawa anak itu ke sisinya.”

Balai itupun menjadi gempar. Para penonton berjinjit dan memperingatkan orang‑orang yang berdiri di depan mereka. Namun mendadak terjadi keheningan lagi ketika kedua wanita tersebut melangkah masuk ke dalam lingkaran dan masing‑masing memegang sebelah tangan si kecil. Bocah itupun juga langsung terdiam, seperti mengerti apa yang sedang dipertaruhkan. Ia memalingkan wajah mungilnya yang berlinang air mata kepada Anna. Lalu sang hakimpun memberikan aba‑abanya:

“Ya…!”

Dan dengan sekali sentakan kuat Nyonya Zingli merenggut si kecil keluar dari lingkaran. Terpana dan tak percaya, pandangan mata Anna mengikutinya. Karena khawatir kalau sampai si kecil cedera bila kedua lengannya yang mungil itu ditarik serentak ke dua arah yang berbeda, Anna segera melepasnya.

Si tua Dollinger berdiri.

“Nah, akhirnya kita tahu!” serunya, “siapa ibu yang sesungguhnya. Ambil si kecil dari sundal itu. Ia akan mencabik‑cabiknya sampai hancur dengan darah dingin!” Dan iapun lalu mengangguk kepada Anna dan segera meninggalkan balai itu untuk menyantap sarapan paginya.

Dan pada pekan‑pekan berikutnya para petani, yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, secara tak langsung memperbincangkan bagaimana saat sang hakim sambil mengedip menghadiahkan si kecil kepada wanita dari Mering itu.

BERTOLT BRECHT (1898‑1956) merupakan salah seorang tokoh puncak drama di abad dua puluh. Ia lahir di Augsburg, Jerman. Belajar sains dan pengobatan, namun ia segera menemukan bahwa minat utamanya adalah pada teater. Di AS karya kolaborasinya bersama Kurt Weill mendapat sukses luar biasa. Sedang di Indonesia sebuah karyanya, Opera Kecoa, juga pernah dipentaskan.

Alih bahasa Syafruddin HASANI

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Pelageya (Cerpen Mikhail Zoshchenko)

Pelageya adalah seorang perempuan yang buta huruf. Bahkan menulis namanya sendiripun ia tidak bisa.

Di lain pihak, suaminya adalah seorang pegawai Sovyet yang bertanggung jawab. Meskipun dulunya hanya seorang petani biasa yang sederhana, namun setelah tinggal selama lima tahun di kota pria itu telah belajar banyak. Bukan hanya bagaimana menulis namanya sendiri tapi juga banyak hal‑hal lainnya.

Dan pria itu sangat malu memiliki seorang istri yang buta huruf.

“Kau, Pelageyushka, paling tidak harus bisa menulis namamu sendiri,” katanya kepada Pelageya. “Nama terakhirku pun cukup mudah. Hanya dua suku kata, Kuch‑kin. Namun kau tetap tak bisa menulisnya. Payah.”

Namun Pelageya tak pernah peduli. “Tak ada gunanya bagiku mempelajarinya sekarang ini, Ivan Nikolaevich,” begitulah jawa­bannya selalu. “Umurku makin tua. Jari‑jariku semakin kaku. Untuk apa aku belajar membuat huruf‑huruf itu sekarang? Biar yang muda‑muda saja yang belajar. Biarlah di usiaku ini aku apa adanya begini saja.”

Suami Pelageya adalah seorang yang amat sibuk sehingga tidak dapat membuang banyak waktu untuk meladeni istrinya. Ia hanya menggeleng‑gelengkan kepalanya seakan berkata, “Oh, Pela­geya, Pelageya!” Akan tetapi mulutnya tetap diam.

Namun suatu hari Ivan Nikolaevich membawa pulang sebuah buku kecil yang istimewa.

“Ini, Polya,” katanya, “adalah buku latihan membaca metode CBSA terbaru, berdasar metode yang paling up‑to‑date. Akan kua­jari caranya.”

Pelageya tertawa dalam hati, diambilnya buku itu, dibalik lalu disembunyikannya di lemari rias, seakan berkata, “Biarlah dia di situ. Barangkali cucu‑cucu kita kelak memerlukannya.”

Tapi pada suatu hari Pelageya sedang duduk bekerja. Ia harus menambal jaket Ivan Nikolaevich yang lengannya berlobang.

Pelageyapun duduk di depan meja. Ia mengambil jarum dan meletakkan tangannya di bawah jaket ketika mendengar ada sesuatu yang bergemerisik.

“Mungkin uang,” pikir Pelageya.

Dia mencari‑cari lalu menemukan sepucuk surat. Surat yang cantik beramplop manis. Ada tulisan tangan yang kecil‑kecil dan rapi, dari kertasnya pun tercium bau parfum yang wangi.

Jantung Pelageya tersentak.

“Mungkinkah Ivan Nikolaevich menipuku?” batinnya. “Mungkin­kah ia bertukar surat‑surat cinta dengan para wanita terpelajar dan melecehkan istrinya yang bodoh dan buta huruf ini?”

Pelageya memperhatikan amplop itu, mengeluarkan suratnya dan membuka lipatannya. Tapi karena buta huruf maka tak satu katapun yang dapat dibacanya. Baru kali inilah seumur hidupnya ia merasa menyesal karena tak dapat membaca.

“Meskipun ini barangkali surat orang lain,” pikirnya, “aku tetap harus tahu apa isinya. Barangkali seluruh hidupku akan berubah dan aku akan kembali ke desa dan bekerja sebagai petani.”

Pelageya menangis dan mulai berpikir bahwa Ivan Nikolaevich telah berubah akhir‑akhir ini. Ia kini lebih rajin merawat ku­misnya dan lebih sering mencuci tangannya. Pelageya duduk sambil memperhatikan surat itu dan mendengking seperti seekor babi yang sedang dibunuh dengan cara ditusuk. Tapi apa daya ia tak dapat membaca surat itu. Sementara kalau menunjukkannya kepada orang lain ia merasa malu.

Pelageya menyembunyikan surat tadi di dalam lemari rias, lalu menyelesaikan pekerjaan menjahitnya dan menunggu Ivan Niko­laevich pulang ke rumah.

Namun ketika suaminya telah tiba ia sama sekali tidak menunjukkan bahwa telah terjadi sesuatu. Sebaliknya, ia justru berbicara kepada suaminya dengan nada suara yang tenang dan bahkan mengisyaratkan bahwa ia tidak berkeberatan untuk belajar sedikit dan merasa sudah jenuh menjadi orang awam yang bodoh dan buta huruf.

Ivan Nikolaevich sangat gembira mendengarnya. “Bagus!” katanya. “Nanti akan kutunjukkan bagaimana caranya.”

“Baik, ayolah!” sahut Pelageya.

Dan iapun memandang lekat‑lekat ke arah kumis tipis Ivan Nikolaevich yang terpangkas rapi.

Selama dua bulan Pelageya berlatih membaca setiap hari. Dengan sabar diejanya kata‑kata, belajar membuat huruf‑huruf, dan menghafalkan kalimat‑kalimat. Dan setiap sore diambilnya surat simpanan itu dari lemari rias dan berusaha menguraikan rahasia makna‑maknanya.

Tapi hal itu tidak gampang. Barulah pada bulan ketiga kemampuan Pelageya lancar.

Pada suatu pagi ketika Ivan Nikolaevich telah pergi beker­ja, Pelageya mengambil surat itu dari lemari rias dan mulai membacanya.

Ia mengalami kesukaran memahami tulisan tangan yang kecil‑kecil, namun bau parfum yang hampir hilang dari kertas itu telah memacunya untuk terus. Surat itu dialamatkan kepada Ivan Nikolae­vich. Pelageya membaca:

Kepada Kamerad Kuchkin,

Kukirimkan buku latihan membaca yang dulu kujanjikan. Kurasa istrimu bisa menguasai pengetahuan yang luas ini dalam waktu dua atau tiga bulan. Berjanjilah kepadaku untuk membujuknya, Bung. Buat dia mengerti betapa sialnya menjadi seorang perempuan awam yang buta huruf.

Untuk merayakan ulang tahun Revolusi, kita sedang mengha­puskan buta huruf di seluruh Republik dengan segala cara. Namun karena sesuatu hal kita justru lupa terhadap orang‑orang yang dekat dengan kita.

Aku yakin kamu pasti bisa, Ivan Nikolaevich.

Salam komunis

Maria Blokhina

Pelageya membaca seluruh isi surat itu dua kali. Lalu dengan perasaan sedih ia menekankan kedua bibirnya dan entah bagaimana diam‑diam merasa terhina. Tiba‑tiba air matanya jatuh berlinang.

MIKHAIL ZOSHCHENKO (1895‑1958) adalah salah seorang penulis humor paling populer di Rusia selain Chekov. Tulisan‑tulisannya yang tajam mengenai gambaran kehidupan di Soviet kadang‑kadang membawa kesulitan bagi dirinya dengan para penguasa. Cerita ini disadur dari terjemahan Bahasa Inggrisnya oleh Syafruddin HASANI.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Taruhan (Cerpen Anton Chekov)

Saat itu malam musim gugur yang gelap. Seorang bankir tua berjalan mondar‑mandir di ruang kerjanya terkenang pesta yang diselenggarakannya pada musim gugur lima belas tahun silam. Banyak orang pandai yang hadir dan percakapan‑percakapan yang menarik di sana.

Di antara hal‑hal yang mereka perbincangkan adalah masalah hukuman mati. Para tamu, tidak sedikit di antaranya adalah para sarjana dan jurnalis, sebagian besar tidak setuju atas pelaksanaan hukuman terse­but. Mereka menganggap hal itu sebagai suatu bentuk hukuman yang sudah kuno, tidak cocok untuk negara kristen dan amoral. Seba­gian dari mereka berpendapat bahwa hukuman mati hendaknya diganti saja dengan hukuman penjara seumur hidup secara universal.

“Aku tak sependapat dengan kalian,” kata sang tuan rumah. “Aku sendiri belum pernah mengalami hukuman mati atau penjara seumur hidup, tapi bila kita boleh mengambil pertimbangan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, menurut pendapatku hukuman mati lebih bermoral dan lebih manusiawi daripada penjara. Eksekusi langsung membunuh, sedang penjara seumur hidup membunuh perlahan‑lahan. Siapakah algojo yang lebih manusiawi, orang yang membunuhmu dalam beberapa detik ataukah seseorang yang mencabut nyawamu selama bertahun‑tahun?” “Keduanya sama‑sama amoral,” ujar seorang tamu, “karena tujuan keduanya sama, mengambil kehidupan. Negara bukan Tuhan. Ia tak punya hak untuk mengambil apa yang tak dapat diberikannya kembali.”

Di antara mereka terdapat seorang pengacara muda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Ketika dimintai pendapatn­ya, ia berkata:

“Hukuman mati dan penjara seumur hidup sama‑sama amoral, tapi kalau aku disuruh memilih di antara keduanya, aku pasti memilih yang kedua. Bagaimanapun juga, hidup lebih baik daripada tidak hidup sama sekali.”

Terjadilah perdebatan yang seru. Sang bankir yang saat itu masih muda dan temperamental tiba‑tiba naik pitam, ia menggebrak meja dan berteriak kepada pengacara muda tadi:

“Bohong! Aku berani bertaruh dua juta kau takkan betah ngendon di sel walau hanya untuk lima tahun saja!”

“Kalau kau serius,” sahut sang pengacara, “aku bertaruh akan ngendon bukan hanya selama lima, tapi lima belas tahun.”

“Lima belas tahun. Jadi!” seru sang bankir. “Tuan‑tuan, aku mempertaruhkan dua juta!”

“Setuju. Kau bertaruh dengan dua juta, aku dengan kebeba­sanku,” kata sang pengacara.

Maka taruhan edan‑edanan itu jadilah. Sang bankir yang saat itu memiliki banyak uang tak dapat mengendalikan dirinya. Selama makan malam ia berkata kepada sang pengacara dengan canda:

“Sadarlah sebelum terlalu terlambat, anak muda. Dua juta tak ada artinya bagiku, namun kau akan kehilangan tiga atau empat tahun terbaik dalam hidupmu. Kubilang tiga atau empat, karena kau takkan kuat ngendon  lebih lama lagi. Juga jangan lupa, hai orang malang, bahwa sukarela lebih berat daripada melaksanakan hukuman penjara sesungguhnya. Pikiran bahwa kau punya hak untuk membebas­kan dirimu kapan saja, akan mengacaukan seluruh kehidupanmu di dalam sel. Aku kasihan padamu.”

Dan kini sang bankir berjalan mondar‑mandir mengenang ini semua dan bertanya pada dirinya sendiri:

“Kenapa kulakukan taruhan ini? Apa manfaatnya? Si pengacara itu kehilangan lima belas tahun kehidupannya dan aku membuang dua juta. Apakah ini akan meyakinkan masyarakat bahwa hukuman mati lebih buruk atau lebih baik daripada penjara seumur hidup? Tidak, tidak! Semua ini kesia‑siaan belaka. Di pihakku itu semata‑mata akibat pikiran mendadak dari seorang yang kaya raya; sedang bagi si pengacara, semata‑mata karena kerakusan akan harta.”

Ia mengenang lebih jauh tentang apa yang terjadi setelah pesta malam itu. Diputuskan bahwa sang pengacara harus menjalani masa kurungannya di bawah pengawasan yang sangat ketat di sebuah paviliun yang terletak di kebun milik sang bankir. Juga telah disepakati bahwa selama masa itu ia akan kehilangan hak untuk melintasi ambang pintu, melihat kehidupan masyarakat, mendengar suara‑suara manusia, dan menerima surat serta koran. Ia diijinkan memiliki sebuah alat musik, membaca buku‑buku, menulis surat, minum anggur dan menghisap tembakau. Berdasar kesepakatan ia bisa berkomunikasi dengan dunia luar, namun hanya dengan keheningan, melalui sebuah jendela kecil yang khusus dibangun untuk itu.

Semua kesepakatan itu telah tertulis secara rinci, yang membuat masa kurungan itu amat sangat sunyi dan terasing, dan sang pengacara diwajibkan untuk tinggal tepat selama lima belas tahun mulai dari pukul dua belas pada tanggal 14 November 1870 sampai dengan pukul dua belas tanggal 14 November 1885. Sedikit saja ia melakukan pelanggaran atas syarat‑syarat tadi, melepaskan diri walau hanya kurang dua menit dari waktunya, membebaskan sang bankir untuk membayarnya dua juta.

Selama tahun pertamanya di penjara, sang pengacara, sepanjang kesimpulan yang dapat ditarik dari catatan‑catatan kecilnya, sangat menderita karena kesendirian dan kesepian. Siang malam dari kamarnya terdengar suara piano. Ia menolak anggur dan tembakau. “Anggur,” tulisnya, “membangkitkan keinginan‑keinginan yang merupakan musuh utama bagi seorang tahanan, lagi pula tak ada yang lebih membosankan daripada minum anggur yang baik sendirian, sedangkan tembakau mengotori udara di kamarnya.”

Selama tahun pertama itu sang pengacara mendapat kiriman buku‑buku tentang para tokoh, novel‑novel kisah percintaan yang rumit, cerita‑cerita kejahatan dan fantasi, komedi, dan sebagain­ya.

Pada tahun kedua tidak terdengar lagi suara piano dan sang pengacara hanya meminta sastra Yunani dan Romawi kuno. Dalam tahun kelima suara musik kembali terdengar dan sang tahanan meminta anggur. Orang‑orang yang mengawasinya mengatakan bahwa dalam waktu setahun itu ia hanya makan, minum dan berbaring saja di ranjangnya. Ia sering menguap dan bicara sendiri sambil marah‑marah. Ia tidak lagi membaca buku. Terkadang di malam hari ia duduk sambil menulis. Ia menulis dalam waktu lama kemudian merobek‑robek semuanya di pagi hari. Lebih dari sekali terdengar ia menangis.

Dalam pertengahan tahun keenam, sang tahanan mulai mempe­lajari bahasa‑bahasa, filsafat dan sejarah dengan penuh semangat. Ia menekuni bidang‑bidang ini dengan laparnya sehingga sang bankir bersusah payah mencari waktu untuk memenuhi kebutuhan buku‑bukunya. Dalam masa empat tahun telah sekitar enam ratus volume yang dibeli atas permintaannya.

Ketika gairah itu surut, sang bankir menerima surat berikut ini dari sang tahanan:

“Sipirku yang baik, kutulis baris‑baris ini dalam enam bahasa. Tunjukkanlah kepada para ahli. Biar mereka membacanya. Jika mereka tak menemukan satu kesalahanpun, kuminta kau memerintahkan orangmu melepas tembakan di kebun. Dengan keributan itu, aku akan tahu bahwa usahaku selama ini tidaklah sia‑sia. Para cendekiawan dari segala masa dan negeri berbicara dalam bahasa‑bahasa yang berbeda, namun dalam diri mereka semua menyala semangat yang sama. Oh, seandainya kau tahu betapa bahagianya aku kini karena telah mengerti bahasa‑bahasa mereka!”

Keinginan sang tahananpun terpenuhi. Dua tembakan dilepas di kebun atas perintah sang bankir.

Selanjutnya, setelah tahun ke sepuluh, sang pengacara duduk tak bergeming di depan mejanya dan hanya membaca Kitab Perjanjian Baru. Sang bankir merasa heran bahwa seorang pria yang selama empat tahun telah menguasai enam ratus volume ilmu pengetahuan, akan menghabiskan hampir satu tahun hanya untuk membaca sebuah buku saja, yang mudah dipahami dan sama sekali tidak tebal. Perjanjian Baru itu kemudian digantikan dengan sejarah agama‑agama dan teologi.

Selama dua tahun terakhir dari masa kurungannya sang taha­nan dengan edan‑edanan membaca luar biasa banyak. Sekarang ia menekuni ilmu‑ilmu alam, kemudian melahap karya‑karya Byron dan Shake­speare. Ia mengirim catatan‑catatan kecil minta dikirimi dalam waktu yang bersamaan sebuah buku tentang kimia, sebuah textbook tentang kedokteran, sebuah novel, dan beberapa risalah filsafat atau teologi. Ia membacanya seakan‑akan sedang berenang di lautan di antara kepingan‑kepingan kapal pecah, dan dalam perjuangan menyelamatkan nyawanya ia mencengkeram keping‑keping itu satu per satu dengan bersemangat.

Sang bankir mengenang semua ini dan berpikir:

“Pukul dua belas besok ia memperoleh kebebasannya. Berdasar kesepakatan, aku nanti harus membayarnya dua juta. Kalau kubayar, tamatlah riwayatku. Aku bangkrut selamanya….”

Lima belas tahun silam uangnya berjuta‑juta, tapi sekarang ia bahkan takut bertanya kepada dirinya sendiri manakah yang lebih banyak dimilikinya, uang ataukah hutang. Berjudi di pasar modal, spekulasi yang beresiko, dan kesembronoan yang tidak dapat dihilangkannya bahkan sampai tuanya, perlahan‑lahan telah mengan­tar bisnisnya kepada kehancuran. Dan pengusaha yang dulu pembera­ni, penuh percaya diri dan angkuh itu kini telah berubah menjadi seorang bankir biasa yang gemetar setiap kali terjadi fluktuasi harga di pasar.

“Taruhan terkutuk itu,” bisik pria tua tadi sambil memegangi kepalanya dalam keputusasaan. “Kenapa orang itu tidak mati saja? Umurnya baru empat puluh tahun. Ia akan membawa pergi sampai recehan terakhirku serta mengakhiri semuanya; pernikahanku, hidupku yang enak ini, perjudian di bursa saham, dan aku akan kelihatan seperti seorang kere yang iri dan mendengar kata‑kata yang sama darinya setiap hari: ‘Aku berhutang budi padamu untuk kebahagiaan hidupku. Biarlah aku menolongmu.’ Tidak, itu terlalu banyak! Satu‑satunya cara melepaskan diri dari kebangkrutan dan aib adalah pria itu harus mati.”

Jam baru saja berdentang menunjukkan pukul tiga. Sang bankir menyimaknya. Di rumah itu semua orang sudah tidur, dan yang terdengar hanyalah bunyi pepohonan beku yang menderu‑deru di luar jendela. Dengan berusaha agar tidak menimbulkan suara, ia mengeluarkan kunci pintu yang tidak pernah dibuka selama lima belas tahun dari peti besinya kemudian mengantongi di mantelnya lalu keluar dari rumah. Di kebun suasananya gelap dan dingin. Saat itu sedang hujan. Ada kabut dan hembusan angin yang menderu‑deru, membuat pepohonan tidak bisa diam. Meskipun telah memaksakan matanya, sang bankir tetap tak dapat melihat tanah, patung‑patung putih, paviliun ataupun pepohonan di kebun itu. Ketika sedang mendekati paviliun, ia memang­gil‑manggil sang pengawas dua kali. Namun tak ada jawaban. Agaknya sang pengawas telah mencari perlindungan dari cuaca buruk dan kini sedang tertidur di dapur atau rumah kaca.

“Kalau aku punya keberanian untuk menjalankan niatku,” pikir laki‑laki tua itu, “kecurigaan pertama kali akan ditujukan kepada si pengawas.”

Di dalam kegelapan ia meraba‑raba mencari jalan dan pintu kemudian memasuki aula paviliun. Selanjutnya ia meneruskan lang­kahnya melewati sebuah celah sempit dan menyalakan sebatang korek api. Tak ada seorangpun di sana. Terlihat dipan tanpa seprei dan selimut serta sebuah kompor besi samar‑samar di sudut ruangan. Segel yang tertempel di pintu masuk kamar tahananpun masih utuh.

Ketika koreknya mati, pria tua itu, yang gemetaran karena gejolak di dalam dirinya, mengintip lewat jendela kecil. Di kamar tahanan terdapat sebatang lilin yang menyala remang‑remang. Sang tahanan duduk sendirian di depan meja. Hanya punggung, rambut dan kedua belah tangannya saja yang nampak. Buku‑buku yang terbuka berserakan di atas meja, kedua kursi, dan karpet di dekat meja.

Lima menit berlalu dan sang tahanan tak sekalipun menoleh. Lima belas tahun dalam kurungan telah mengajarkannya untuk duduk tak bergeming. Sang bankir mengetuk‑ngetuk jendela dengan jarin­ya, tapi sang tahanan tidak melakukan sebuah gerakanpun sebagai tanggapan. Lalu sang bankir dengan hati‑hati merobek segel pintu dan memasukkan kunci ke lubangnya. Lubang kunci yang berkarat mengeluarkan suara serak dan pintu pun berderit. Sang bankir mengharap segera mendengar seruan kaget dan bunyi langkah‑langkah. Tiga menit berlalu dan suasana tetap hening di dalam, sebagaimana sebelumnya. Iapun memutuskan untuk masuk.

Pria itu duduk di depan meja, tidak seperti manusia biasa. Nampak mirip tengkorak terbalut kulit yang berambut gondrong keriting seperti perempuan dan berewokan. Wajahnya kuning pucat karena tak pernah tersentuh sinar matahari, kedua belah pipinya kempot, punggungnya panjang dan kecil, dan tangannya yang dipakai untuk menopangkan kepalanya sangat kurus dan lemah sehingga menyedihkan sekali bagi yang melihatnya. Rambutnya sudah beruban, dan tak seorangpun yang melihat sekilas ke wajah tua yang peot itu akan percaya bahwa ia baru berusia empat puluh tahun. Di atas meja, di depan kepalanya yang tertunduk, tergeletak secarik kertas yang berisi tulisan tangan yang kecil‑kecil.

“Manusia malang,” batin sang bankir, “dia sedang tertidur dan barangkali sedang melihat uang jutaan dalam mimpinya. Aku tinggal mengangkat dan melempar benda setengah mati ini ke atas dipan, membekapnya sebentar dengan bantal, dan otopsi yang paling teliti sekalipun tak akan menemukan sebab kematian yang tidak wajar. Tapi, pertama‑tama, mari kita baca apa yang telah ditulisnya di sini”. Sang bankirpun mengambil kertas itu dan membacanya:

“Besok pukul dua belas tengah malam aku akan memperoleh kebebasanku dan hak untuk bergaul dengan masyarakat. Namun sebe­lum kutinggalkan ruangan ini dan melihat cahaya matahari, kupikir aku perlu menyampaikan beberapa patah kata kepadamu. Dengan nurani yang jernih dan Tuhan sebagai saksinya, kunyatakan kepada­mu bahwa aku memandang hina kebebasan, kehidupan, kesehatan, dan semua yang disebut oleh buku‑bukumu sebagai rahmat di dunia ini.”

“Selama lima belas tahun aku dengan rajin telah mempelajari kehidupan duniawi. Memang benar, aku tidak melihat dunia maupun orang‑orang, tapi dalam buku‑bukumu aku meminum anggur yang wangi, menyanyikan lagu‑lagu, berburu rusa dan babi hutan di rimba, mencintai wanita‑wanita….”

“Dan wanita‑wanita cantik, selembut awan, yang diciptakan oleh sihir kejeniusan para pujangga, mengunjungiku di malam hari dan membisikkan dongeng‑dongeng yang menakjubkan, membuat aku mabuk kepayang.”

“Dalam buku‑bukumu aku mendaki puncak Elbruz dan Mont Blanc dan dari sana menyaksikan bagaimana matahari terbit di pagi hari, dan ketika senjanya menutupi langit, samudera, dan punggung pegunungan dengan warna lembayung keemasan. Dari sana kulihat betapa di atasku kilat berkilauan membelah awan, kulihat hutan‑hutan yang hijau, ladang‑ladang, sungai‑sungai, danau‑danau, kota‑kota, kudengar nyanyian sirene dan permainan pipa‑pipa Pan, kusentuh sayap iblis‑iblis cantik yang terbang mendatangiku untuk berbicara tentang Tuhan…. Dalam buku‑bukumu kuterjunkan diriku ke dalam jurang tanpa dasar, membuat berbagai keajaiban, membakar kota‑kota sampai rata dengan tanah, mengajarkan agama‑agama baru, menaklukkan seluruh negara….”

“Buku‑bukumu memberiku kebijaksanaan. Semua pemikiran manu­sia yang tak jemu‑jemunya diciptakan selama berabad‑abad telah terkumpul di dalam otakku yang kecil. Aku tahu bahwa aku lebih pandai darimu dalam segala hal.”

“Dan aku memandang hina buku‑bukumu, memandang hina semua rahmat duniawi dan kebijakan. Semua itu hampa, lemah, dan khayali bagai bayang‑bayang. Sekalipun engkau hebat, bijaksana, dan tampan, kelak kematian akan menghapuskanmu dari muka bumi seperti tikus di bawah tanah. Dan keturunan, sejarah serta monumen kejeniusanmu akan menjadi ampas beku yang habis terbakar bersama bola bumi ini.”

“Engkau sinting, dan menyusuri jalan yang salah. Engkau menukar kesejatian dengan kepalsuan dan kecantikan dengan keburukan. Kau akan heran bila pohon apel dan jeruk menghasilkan kodok dan kadal, bukannya buah. Dan jika bunga‑bunga mawar mengeluarkan bau keringat kuda. Demikian pula aku heran padamu yang telah menukar sorga dengan dunia. Aku tak ingin memahamimu.”

“Kutunjukkan padamu kejijikanku atas cara hidupmu, kutolak dua juta itu yang pernah kuimpikan sebagai sorga, dan yang kini kuanggap hina. Aku cabut hakku atasnya, aku akan keluar dari sini lima menit sebelum waktunya, dengan demikian akan batallah perse­tujuan itu.”

Setelah membacanya, sang bankir meletakkan kembali kertas tersebut di atas meja, dikecupnya kepala orang asing itu, dan iapun mulai menangis. Ia keluar dari paviliun itu. Tak pernah sebelumnya, bahkan juga setelah mengalami kerugian besar di bursa saham, ia merasa begitu jijik kepada dirinya sendiri seperti sekarang ini. Setelah tiba di rumah, ia membaringkan tubuhnya di atas dipan, tapi gejolak batin dan air mata menahannya untuk tidur selama beberapa saat.

Pada paginya sang pengawas yang malang mendatanginya dengan berlari‑lari dan melaporkan bahwa mereka telah melihat pria yang tinggal di paviliun itu memanjat jendela dan turun ke kebun. Ia telah pergi ke pintu gerbang dan menghilang. Sang bankir segera pergi bersama para pembantunya ke paviliun tadi dan mendapatkan tahanannya telah melepaskan diri. Untuk menghindari desas‑desus yang tak diinginkan ia mengambil surat yang berisi pernyataan penolakan itu dari atas meja dan setelah kembali ke rumah menyim­pannya di peti besinya.

ANTON CHEKOV (1860‑1904) lahir di Taganrog, Laut Azov, Rusia. Cucu seorang penggarap tanah. Meski berpendidikan dokter tapi ia jarang melakukan praktek dan lebih asyik menekuni sastra. Cerita‑ceritanya segera mendapat sambutan dari publik dan mengakibatkan pengaruh yang mendalam di berbagai negara, terutama dalam drama modern.

SUMBER: http://www.nyx.net/~kbanker/chautauqua/bet.html

Alih bahasa Syafruddin HASANI

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Charles (Cerpen Shirley Jackson)

Pada hari pertamanya masuk tk, putraku Laurie, tidak mau lagi memakai pakaian kanak‑kanaknya dan mulai memakai celana blue jeans yang berikat pinggang. Kuperhatikan pagi itu ia berangkat bersama putri tetangga kami yang lebih tua umurnya. Terlihat jelas ada suatu masa dalam kehidu­panku yang telah berakhir. Putraku yang dulu sekolah di play group dengan suara merdu khas kekanakannya, kini telah berubah  menjadi satu sosok cilik yang berjalan gagah dan angkuh dengan celana panjangnya, dan sudah lupa pula berhenti di pojok jalan untuk melambaikan tangannya kepadaku.

Begitu pun ketika ia pulang ke rumah, dihempaskannya pintu depan, lalu melempar topinya ke lantai dan tiba‑tiba berteriak dengan suara serak, “Ada orang di rumah?”

Waktu makan siang ia berbicara tidak sopan pada papanya, menumpahkan susu adik perempuannya yang masih bayi dan melaporkan bahwa tadi gurunya melarang kita bersumpah dengan memakai nama Tuhan.1)

“Bagaimana sekolahnya hari ini?” tanyaku sambil lalu.

“Baik,” jawabnya.

“Apa yang kamu pelajari tadi?” tanya papanya.

“Tidak ada yang tidak kupelajari,” jawabnya dingin.

“Yang berkesan,” sambungku. “Masak tidak ada yang berkesan.”

“Bu Guru memukul pantat seorang anak,” jawabnya sambil menyuapkan roti mentega ke mulutnya. “Karena kurang ajar,” sambungnya dengan mulut penuh.

“Apa yang diperbuatnya?” tanyaku. “Siapa anak itu?”

Laurie berpikir. “Namanya Charles,” jawabnya. “Dia kurang ajar. Bu Guru memukul pantatnya dan menyuruhnya berdiri di pojok kelas. Dia sangat kurang ajar.”

“Apa yang dilakukan anak itu?” ulangku, tapi Laurie meluncur dari kursinya, mengambil sepotong biskuit, dan pergi begitu saja. Sementara papanya masih berkata, “Hey, awas kamu nanti!”

Besoknya ketika sedang makan malam lagi, begitu duduk Laurie kembali memberi laporan. “Charles nakal lagi tadi”. Dengan bibir menyeringai ia melanjutkan, “Tadi Charles memukul Bu Guru.”

“Masya Allah!” seruku. “Pasti pantatnya dipukul la­gi.”

“Tentu saja,” sambung Laurie.

“Lihat!” kata Laurie pada papanya sambil menunjuk ke atas.

“Apa?” tanya papanya, melihat ke atas.

“Lihat!” ulangnya sekali lagi sambil menunjuk ke bawah. “Lihat ibu jariku. Hii, papa bego!” Ia tertawa terbahak‑bahak.

“Kenapa Charles memukul Bu Guru?” tanyaku cepat.

“Karena Bu Guru menyuruh mewarnai dengan krayon merah,” jawab Laurie. “Padahal Charles ingin mewarnai dengan krayon hijau, sehingga dia memukul Bu Guru dan Bu Guru pun memukul pantatnya lagi dan melarang anak‑anak yang lain bermain dengannya, tapi nggak ada yang peduli.”

Pada hari ketiga, Rabu pekan pertama, Charles meng­hempaskan papan jungkit 2) ke atas kepala seorang gadis cilik hingga melukainya. Oleh Bu Guru ia dihukum tetap tinggal di kelas selama waktu istirahat. Hari Kamis Charles harus berdiri di pojok kelas selama Bu Guru berce­rita karena terus‑menerus mengetukkan kakinya ke lantai. Hari Jumat ia kehilangan haknya untuk menulis di papan tulis karena melemparkan kapur.

Pada hari Sabtu aku berkata pada suamiku, “Apa menurutmu suasana di tk terlalu keras buat Laurie? Segala kekerasan, kekurangajaran, dan si Charles ini sepertinya suatu pengaruh yang jelek.”

“Nanti juga beres,” jawab suamiku menenangkan. “Memang sudah ditakdirkan ada orang‑orang kayak si Charles itu di dunia ini. Barangkali lebih baik dia menjumpainya sekarang daripada nanti.”

Pada hari Senin Laurie pulang terlambat, penuh dengan laporan. “Charles…!” serunya begitu muncul dari balik tanjakan, ketika aku sedang menunggunya dengan gelisah di tangga depan. “Charles…!” teriaknya di sepan­jang tanjakan. “Charles nakal lagi!”

“Masuklah,” kataku begitu ia sudah cukup dekat. “Makan siang sudah siap.”

“Mama tahu apa yang dilakukan Charles tadi?” desak­nya sambil membuntutiku masuk melewati pintu. “Charles berteriak‑teriak di sekolah sehingga anak dari kelas lain disuruh menyampaikan kepada Bu Guru agar menenangkannya. Kemudian Charles pun disuruh tetap tinggal setelah sekolah usai. Juga murid‑murid yang lain untuk menontonnya.”

“Lalu apa yang dilakukannya?” tanyaku.

“Dia cuma duduk di sana,” sahut Laurie sambil meman­jat kursinya. “Hey, pap! Wajah papa kayak kain pel.”

“Charles disuruh tetap tinggal di kelas setelah usai sekolah,” aku memberitahu suamiku. “Teman‑temannya juga disuruh tinggal menemaninya.”

“Seperti apa sih si Charles itu?” tanya suamiku pada Laurie. “Siapa nama lengkapnya?”

“Dia lebih gede dariku,” sahut Laurie. “Dia nggak pakai sepatu panjang dan nggak pernah pakai jaket.”

Malam Selasa diadakan pertemuan pertama antara guru dengan wali murid, dan karena bayi perempuanku terserang demam, aku terpaksa tak dapat menghadirinya. Padahal aku sangat ingin berjumpa dengan ibunya Charles. Pada hari Selasa Laurie melaporkan tiba‑tiba, “Tadi di sekolah Bu Guru dikunjungi oleh seorang  temannya.”

“Ibunya Charles?” Aku dan suamiku langsung bertanya berbarengan.

“Bukaaann!” Laurie menyangkal sinis. “Dia seorang laki‑laki dan menyuruh anak‑anak melakukan gerak badan, kami  disuruh menyentuh jari kaki. Lihat!” Laurie bering­sut turun dari kursinya lalu berjongkok dan menyentuh jari kakinya. “Kayak gitu,” katanya. Kemudian ia kembali ke kursinya dan berkata sambil mengangkat garpunya, “Charles nggak mau melakukannya.”

“Bagus,” kataku dengan nada prihatin. “Masak Charles nggak mau melakukannya?”

“Nggaaakk!” sahut Laurie. “Charles memang kurang ajar sekali terhadap teman Bu Guru itu.”

“Kurang ajar lagi?” tanyaku.

“Ditendangnya teman Bu Guru itu,” lanjut Laurie. “Teman Bu Guru menyuruh Charles menyentuh jari kakinya seperti yang kulakukan tadi dan Charles menendangnya.”

“Lalu kira‑kira apa yang akan mereka lakukan terha­dapnya?” tanya papanya.

Laurie mengangkat bahunya.

“Mungkin melemparnya dari sekolah,” jawab Laurie.

Hari Rabu dan Kamis berjalan seperti biasanya, Charles bikin ribut ketika Bu Guru sedang bercerita dan memukul perut temannya sehingga anak itu menangis. Hari Jumat Charles dihukum tetap tinggal di kelas lagi setelah pelajaran usai, begitu juga semua teman‑temannya.

Setelah tiga pekan di tk, Charles telah menjadi bahan pembicaraan dalam keluarga kami. Bayiku menjadi Charles kalau ia menangis terus sepanjang malam. Laurie menjadi Charles waktu ia mengisi kereta mainannya dengan lumpur sampai penuh dan menariknya melewati dapur. Bahkan suamiku, ketika sikunya menyangkut di kabel telepon se­hingga menyebabkan telepon, asbak dan vas bunga berjatuhan dari meja, menggerutu setelah beberapa saat, “Kayak si Charles aja!”

Antara tiga sampai empat pekan tampaknya ada peruba­han pada diri Charles. Laurie melaporkan dengan penuh semangat pada waktu makan malam pada hari Kamis pekan ketiga. “Hari ini Charles bertingkah sangat baik dan Bu Guru memberinya sebuah apel.”

“Apa?” Aku tak percaya, dan suamiku menanya lagi dengan hati‑hati. “Maksudmu si Charles itu?”

“Charles,” Laurie menegaskan. “Tadi dia membagi‑bagikan krayon lalu mengumpulkan buku‑buku dan Bu Guru mengatakan bahwa Charles adalah penolongnya.”

“Apa yang terjadi?” tanyaku meragukan.

“Charles jadi penolong Bu Guru, itu saja,” kata Laurie dan mengangkat bahunya.

“Apa mungkin Charles bisa begitu?” aku bertanya pada suamiku pada malam harinya. “Mungkinkah itu terjadi?”

“Tunggu saja,” sahut suamiku dengan nada sinis. “Kalau kau sudah mulai bicara soal Charles, bisa berarti dia hanya bikin masalah.”

Tapi agaknya ia salah. Selama lebih dari sepekan Charles telah menjadi penolong Bu Guru. Setiap hari ia membantu Bu Guru membagi‑bagikan sesuatu dan mengumpulkan­nya lagi. Tak ada lagi yang dihukum setelah sekolah usai.

“Pekan depan akan diadakan lagi pertemuan antara guru dengan wali murid,” aku memberitahu suamiku suatu sore. “Aku ingin berjumpa dengan ibu si Charles di sana.”

“Tanya padanya ada apa dengan si Charles itu, aku jadi penasaran,” sahut suamiku.

“Aku juga,” sambungku.

Pada hari Jumat pekan itu segalanya normal lagi. “Coba tebak apa yang dilakukan Charles tadi?” tanya Laurie di meja makan dengan nada agak takjub. “Dia mengajari seorang anak wanita untuk mengucapkan suatu kata dan anak wanita itupun lalu mengatakannya sehingga Bu Guru menyabun mulutnya, sedangkan si Charles tertawa.”

“Kata apa?” tanya papanya dengan bodoh. Laurie pun bilang, “Akan kubisikkan di telinga papa, kata itu sangat jorok”. Ia beringsut dari kursinya dan berjalan menuju papanya. papanya menundukkan kepala dan Laurie pun membi­sikkan sesuatu dengan riang. Kedua mata papanya terbela­lak.

“Benarkah Charles mengajari anak perempuan itu bilang begitu?” tanyanya hati‑hati.

“Dia mengucapkannya dua kali,” sahut Laurie.

“Charles menyuruhnya mengucapkan itu dua kali.”

“Lalu si Charles diapakan?” tanya suamiku.

“Nggak pa‑pa,” jawab Laurie. “Dia cuma membagi‑bagikan krayon.”

Pada hari Seninnya Charles tak menghiraukan anak wanita itu lagi dan ia mengucapkan sendiri kata‑kata jorok itu tiga atau empat kali, sehingga mulutnya pun disabun setiap kali mengucapkannya. Ia juga melempar kapur lagi.

Suamiku mengantar sampai di pintu sore itu ketika aku akan berangkat pada pertemuan antara guru dengan wali murid. “Undanglah dia untuk sekedar minum teh setelah acaranya selesai,” kata suamiku. “Aku ingin mengenalnya.”

“Kalau dia datang,” sahutku berharap.

“Dia akan datang,” sambung suamiku. “Tak dapat kubayangkan bagaimana jadinya acara ini tanpa kehadiran ibu si Charles itu.”

Di pertemuan itu aku duduk dengan gelisah, memerik­sa setiap wajah keibuan yang sedap dipandang, berusaha untuk menentukan siapakah yang mengandung rahasia tentang Charles. Tak satupun tampak di mataku yang berwajah kuyu. Tak satupun ada yang berdiri dalam pertemuan itu dan meminta maaf atas kelakuan puteranya. Tak seorangpun menunjukkan tentang Charles.

Selesai pertemuan aku mencari guru Laurie dan beru­saha menemuinya. Wanita itu memegang sebuah piring berisi secangkir teh dan sepotong kue cokelat, sedang aku sendiri memegang sebuah piring berisi secangkir teh dan sepotong kue manisan. Kami saling mengangguk dan tersenyum.

“Saya sangat ingin berjumpa anda,” sapaku memulai percakapan. “Saya ibunya Laurie.”

“Kami semua sangat menaruh perhatian terhadap Laurie,” balasnya.

“Yaaah, dia pasti senang sekolah di tk,” sambungku. “Dia selalu membicarakannya setiap waktu.”

“Kami ada sedikit masalah tentang penyesuaian, pada pekan pertama atau lebih,” katanya lagi dengan sikap formal, “tapi sekarang dia adalah penolong cilik yang baik. Tentu saja kadang‑kadang.”

“Laurie biasanya cepat menyesuaikan diri,” aku menambahkan. “Saya pikir kali ini karena adanya pengaruh dari si Charles itu.”

“Charles?”

“Ya,” sambungku sambil tertawa, “anda pasti sangat direpotkan di tk ini oleh si Charles tadi.”

“Charles?” ulangnya. “Tidak ada anak yang bernama Charles di tk ini.”

.

.

Keterangan:

1) Menurut agama Yahudi dilarang bersumpah dengan menyebut  nama Tuhan.

2)      Papan jungkit adalah sepotong papan yang di tiap ujungnya duduk seorang anak dan mereka  naik  turun  bergan tian. Banyak terdapat di tk dan taman hiburan.

Shirley Jackson (1919‑1965) lahir di California. Sebagian besar cerita‑cerita dan novel‑novelnya berbau horor, biasanya dari keadaan sekitar sehari‑hari. Hasil karyanya termasuk The Lottery, We Have Always Lived in the Castle, dan The Haunting of Hill House. Cerita yang mengasyikkan ini, tentang seorang bocah cilik yang sekolah di tk, sangat bertolak belakang dengan karya‑karyanya yang lain tadi. Judul asli cerita ini Charles, diambil dari majalah English Teaching Forum edisi April 1989 halaman 4‑5.

SUMBER: http://www.redrival.com/ihs4n6/charles.html.

Alih bahasa Syafruddin HASANI.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Kucing Kehujanan (Cerpen Ernest Hemingway)

Sepasang suami‑istri Amerika singgah di hotel itu. Mereka tidak mengenal orang‑orang yang lalu‑lalang dan berpapasan sepanjang tangga yang mereka lewati pulang‑pergi ke kamar mereka. Kamar mereka terletak di lantai kedua menghadap laut. Juga menghadap ke taman rakyat dan monumen perang. Ada pohon palm besar‑besar dan pepohonan hijau lainnya di taman rakyat itu. Dalam cuaca yang baik biasanya ada seorang pelukis bersama papan lukisnya. Para pelukis menyukai pepohonan palm itu dan warna‑warna cerah dari hotel‑hotel yang menghadap ke taman‑taman dan laut.

Di depan monumen perang tampak iring‑iringan wisata­wan Italia membentuk barisan membujur untuk menyaksikan monumen itu. Monumen yang tampak kemerahan dan berkilauan di bawah guyuran hujan. Saat itu sedang hujan. Air hujan menetes dari pohon‑pohon palm tadi. Air berkumpul memben­tuk genangan di jalan berkerikil. Ombak bergulung‑gulung membuat garis panjang dan memecah di tepi pantai. Beberapa sepeda motor keluar dari halaman monumen. Di seberang halaman, pada pintu  masuk sebuah kedai minum, berdiri seorang pelayan memandang ke halaman yang kini kosong.

Si istri Amerika tadi berdiri di depan jendela memandang keluar. Di sebelah kanan luar jendela mereka ada seekor kucing yang sedang meringkuk di bawah tetesan air yang jatuh dari sebuah meja hijau. Kucing tadi berusaha menggulung tubuhnya rapat‑rapat agar tidak ketetesan air.

“Aku akan turun ke bawah dan mengambil kucing itu,” ujar si istri.

“Biar aku yang melakukannya untukmu,” kata  suaminya  dari tempat tidur.

“Tidak, biar aku saja yang mengambilnya. Kucing malang itu berusaha mengeringkan tubuhnya di bawah sebuah meja.”

Si suami meneruskan bacaannya sambil berbaring bertelekan di atas dua buah bantal pada kaki ranjang.

“Jangan berbasah‑basah,” ia memperingatkan.

Si istri turun ke bawah dan si pemilik hotel segera berdiri memberi hormat kepadanya begitu wanita tadi mele­wati kantornya. Mejanya terletak jauh di ujung kantor. Ia seorang laki‑laki tua dan sangat tinggi.

“Il piove,” ujar si istri. Ia menyukai pemilik hotel itu.

“Si, si, Signora, brutto tempo. Cuaca sangat buruk.”

Ia berdiri di belakang mejanya yang jauh di ujung ruangan suram itu. Si istri menyukai pria itu. Ia suka caranya dalam memberi perhatian kepada para tamu. Ia suka pada penampilan dan sikapnya. Ia suka cara pria tadi dalam melayaninya. Ia suka bagaimana pria itu menetapi profesi­nya sebagai seorang pemilik hotel. Ia pun menyukai ketuaannya, wajahnya yang keras, dan kedua belah tangannya yang besar‑besar.

Dengan memendam perasaan suka kepada pria itu di dalam hatinya, si  istri membuka pintu dan menengok ke­luar. Saat itu hujan semakin deras. Seorang laki‑laki yang memakai mantel karet tanpa lengan menyeberang melewati halaman kosong tadi menuju ke kedai minum. Kucing itu mestinya ada di sebelah kanan. Mungkin binatang tadi berjalan di bawah atap‑atap. Ketika si istri masih termangu di pintu masuk sebuah payung terbuka di belakangnya. Ternyata orang itu adalah pelayan wanita yang mengurusi kamar mereka.

“Anda jangan berbasah‑basah,” wanita itu tersenyum, berbicara dalam bahasa Itali. Tentu pemilik hotel tadi yang menyuruhnya.

Bersama pelayan wanita yang memayunginya si istri berjalan menyusuri jalan berkerikil sampai akhirnya ia berada di bawah jendela kamar mereka. Meja itu terletak di sana, tercuci hijau cerah oleh air hujan, tapi kucing tadi sudah lenyap. Tiba‑tiba ia merasa kecewa. Si pelayan wanita memandanginya.

“Ha perduto qualque cosa, Signora?”

“Tadi ada seekor kucing,” jawab si istri.

“Seekor kucing?”

“Si, il gatto.”

“Seekor kucing?” Pelayan wanita tadi tertawa. “Seekor kucing di bawah guyuran hujan?”

“Ya,” jawabnya, “di bawah meja itu”. Lalu, “Oh, aku sangat menginginkannya. Aku ingin memiliki seekor kucing.”

Ketika ia berbicara dalam bahasa Inggris wajah si pelayan menegang.

“Mari, signora,” katanya. “Kita harus segera kembali ke dalam. Anda akan basah nanti.”

“Mungkin juga,” jawab wanita Amerika itu.

Mereka kembali melewati jalan berkerikil dan masuk melalui pintu. Si pelayan berdiri di luar untuk menutup payung. Begitu si istri lewat di depan kantor, pemilik hotel memberi hormat dari mejanya. Ada semacam perasaan sangat kecil dalam diri wanita itu. Pria tadi membuatnya menjadi sangat kecil dan pada saat yang sama juga membuat­nya merasa menjadi sangat penting. Untuk saat itu si istri merasakan bahwa seolah‑olah dirinya menjadi begitu pentingnya. Ia menaiki tangga. Lalu membuka pintu kamar. George masih asyik membaca di atas ranjang.

“Apakah kau dapatkan kucing itu?” tanyanya sambil meletakkan buku.

“Ia lenyap.”

“Kira‑kira tahu kemana perginya?” tanya si suami sambil memejamkan mata.

Si istri duduk di atas ranjang.

“Aku sangat menginginkannya,” ujarnya. “Aku tidak tahu mengapa aku begitu menginginkannya. Aku ingin kucing malang itu. Sungguh tidak enak menjadi seekor kucing yang malang dan kehujanan di luar sana.”

George meneruskan membaca.

Si istri beranjak dan duduk di muka cermin pada meja hias, memandangi dirinya dengan sebuah cermin lain di tangannya. Ia menelusuri raut wajahnya, dari satu bagian ke bagian lain. Kemudian ia menelusuri kepala bagian belakang sampai ke lehernya.

“Menurutmu bagaimana kalau rambutku dibiarkan pan­jang?” tanyanya sambil menelusuri raut wajahnya kembali.

George mendongak dan memandang kuduk istrinya dari belakang, rambutnya terpotong pendek seperti laki‑laki.

“Aku suka seperti itu.”

“Aku sudah bosan begini,” kata si istri. “Aku  bosan kelihatan seperti laki‑laki.”

George menaikkan tubuhnya. Ia terus memandangi istrinya semenjak wanita itu mulai berbicara tadi.

“Kau cantik dan bertambah manis,” pujinya. Si istri meletakkan  cermin kecil dari tangannya dan berjalan menuju jendela, memandang keluar. Hari mulai gelap.

“Aku ingin rambutku tebal dan panjang agar bisa dikepang,” katanya. “Aku ingin seekor kucing duduk dalam pangkuanku dan mengeong waktu kubelai.”

“Yeah?” komentar George dari ranjangnya.

“Dan aku ingin makan di atas meja dengan piring perakku sendiri dan ada lilin‑lilin. Kemudian aku ingin mengurai rambutku lalu menyisirnya di muka cermin, dan aku ingin seekor kucing, dan aku ingin baju‑baju baru.”

“Ah, sudahlah. Ambillah bacaan,” tukas George. Lalu ia meneruskan membaca lagi.

Istrinya memandang keluar lewat jendela. Semakin gelap sekarang dan dari pohon‑pohon palm masih jatuh tete­san‑tetesan air.

“Baiklah, aku ingin seekor kucing,” ujar istrinya, “aku ingin seekor kucing. Saat ini aku ingin seekor kucing. Seandainya aku tidak bisa memiliki rambut yang pan­jang atau kesenangan lainnya, aku punya seekor kucing.”

George tak peduli. Ia membaca bukunya. Si istri memandang keluar lewat jendela di mana lampu telah menyala di halaman.

Seseorang mengetuk pintu.

“Avanti,” kata George. Ia mendongak.

Di pintu masuk berdiri seorang pelayan wanita. Ia membawa sebuah boneka kucing dari kulit  kura‑kura darat dan menyerahkannya ke depan.

“Permisi,” sapanya, “pemilik hotel ini mengutus saya menyerahkan boneka ini kepada Nyonya.”

ERNEST HEMINGWAY lahir di Illionis pada tahun 1898. Semula ia menjadi sukarelawan sopir ambulans pada masa Perang Dunia I. Sebagai seorang perantauan di Paris, ia meraih sukses pertama kali dengan ceritanya In Our Time. Di antara novel‑novelnya adalah The Sun Also Rises dan A Farewell to Arms. Di akhir hayatnya ia melakukan bunuh diri pada tahun 1961. Judul asli cerita ini Cat In The Rain, diambil dari buku Ernest Hemingway Short Stories hal 265‑268.

SUMBER: http://www.english.uiuc.edu/hurt/103/catintherain.htm

Alih bahasa Syafruddin HASANI

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Ya Tuhan, si Kecil Itu … (Cerpen Rabindranath Tagore)

Raicharan baru berusia dua belas tahun ketika ia datang sebagai pembantu di rumah majikannya. Ia berkasta sama dengan sang majikan dan diserahi tugas mengasuh putera mereka yang masih kecil. Waktupun terus melaju, dan si bocah meninggalkan pangkuan Raicharan untuk bersekolah. Selanjutnya ia meneruskan ke perguruan tinggi dan setelah lulus bertugas sebagai hakim. Begitulah seterusnya, sampai dia menikah, Raicharan adalah pembantu satu‑satunya.

Namun ketika seorang nyonya muda masuk ke rumah itu, maji­kan Raicharan pun kini dua, tidak satu lagi. Semua pengaruh yang dimilikinya dulu, kini beralih kepada nyonya muda tadi. Dan sebagai gantinya adalah kedatangan seorang tamu baru. Anukul memperoleh seorang putera, dan Raicharan pun mencurahkan segenap perhatiannya kepada si kecil itu. Ia melambung‑lambungkannya di dalam dekapannya, memanggil‑manggilnya dengan bahasa bayi yang aneh, mendekatkan wajahnya kepada wajah si bayi lalu menariknya lagi sambil meringis.

Sekarang si kecil sudah bisa merangkak dan melewati pintu. Ketika Raicharan memburunya, ia menjerit‑jerit dan tertawa nakal serta berusaha menghindar. Raicharan terpana melihat kemahiran dan kecerdikan yang ditunjukkan oleh bocah itu ketika sedang dikejar. Ia berkata kepada nyonya majikannya dengan pandangan kagum dan misterius: “Putera anda suatu hari nanti akan menjadi seorang hakim.”

Keajaiban‑keajaiban yang lainpun menyusul. Ketika si kecil mulai bisa berjalan tertatih‑tatih, maka hal itu bagi Raicharan merupakan sebuah peristiwa yang bersejarah. Dan saat ia memanggil ayahnya Ba‑ba dan ibunya Ma‑ma serta Raicharan Chan‑na, maka kegembiraan Raicharan pun tak terbendung lagi. Ia pergi keluar untuk mengabarkan berita itu kepada seluruh dunia.

Tak lama kemudian Raicharan pun dituntut untuk menunjukkan keterampilannya. Misalnya ia harus berperan sebagai kuda, menggi­git tali kekang dengan giginya dan berjingkrak‑jingkrak. Ia pun harus bergulat dengan lawan kecilnya, dan kalau ia tidak mengalah dengan menjatuhkan punggungnya menggunakan trik seorang pegulat maka pastilah akan terdengar jeritan keras.

Dalam waktu itu Anukul dipindah‑tugaskan ke sebuah distrik di tepian Sungai Padma. Dalam perjalanannya melalui Kalkuta ia membelikan puteranya sebuah mobil go‑cart kecil. Selain itu juga selembar mantel kuning setinggi pinggang, sebuah topi berenda emas, dan beberapa gelang tangan dan kaki dari emas. Raicharan biasa mengeluarkan barang‑barang ini dan memasangkannya ke tubuh bos kecilnya itu dengan suatu upacara kehormatan sebelum mereka pergi berjalan‑jalan.

Kemudian datanglah musim hujan, dan hari demi hari hujan itu meluapkan sungai‑sungai kecil. Sungai besar yang lapar, bagai ular raksasa, menelan petak‑petak sawah, desa‑desa, ladang‑ladang jagung, dan membenamkan rumput‑rumput tinggi dan kasuarina liar yang tumbuh di tepian sungai. Setiap saat terdengar bunyi runtuhan bantalan sungai yang ambruk. Suara deru arus sungai besar yang tiada henti‑hentinya bisa terdengar dari kejauhan. Tumpukan buih‑buih yang hanyut dengan cepatnya menggambarkan betapa kencangnya arus itu.

Pada suatu tengah hari hujan itupun reda. Suasananya men­dung namun sejuk dan cerah. Si Tuan Kecil‑nya Raicharan tidak kerasaan tinggal di rumah pada siang yang cerah itu. Ia masuk ke dalam mobil go‑cart‑nya. Raicharan pun menariknya perlahan‑lahan sepanjang jalan sampai mencapai persawahan di tepian sungai. Tak ada orang lain di persawahan itu dan tak ada perahu di sungai. Sementara jauh di seberang air, terlihat awan pecah‑pecah di barat. Upacara terbenamnya matahari yang hening terlihat dengan segala kemegahannya yang berkilauan. Di tengah‑tengah keheningan itu tiba‑tiba si kecil menunjuk sesuatu di depannya dan berteriak:

“Chan‑na, kembang bagus tuh!”

Di dekat dataran berlumpur berdiri sebatang pohon kadamba yang penuh bunga. Ya Tuhan, si kecil itu memandanginya dengan penuh antusias. Raicharan pun mengerti maksudnya. Hanya sesaat sebelum ia sempat menjalankan go‑cart kecil itu, karena khawatir terhadap bunga‑bunga bundar ini, si kecil telah lebih dulu menyeret‑nyeretnya dengan penuh kegembiraan menggunakan seutas tali. Maka sepanjang hari itupun Raicharan tidak perlu lagi mengenakan tali kekang. Dia telah naik pangkat dari seekor kuda kini menjadi seorang tukang kuda.

Tapi sore itu Raicharan tidak ingin berjalan menyeberangi lumpur setinggi lutut untuk memetik bunga‑bunga tadi. Maka iapun cepat‑cepat menunjukkan jarinya ke arah yang berbeda sambil berseru:

“Oh lihatlah, nak, lihat! Lihat burung itu!” Dan dengan berisik didorongnya go‑cart tadi cepat‑cepat menjauhi pohon itu.

Tapi si kecil yang telah ditakdirkan menjadi seorang hakim tersebut, tidak semudah itu ditolak keinginannya. Lagi pula saat itu memang tidak ada sesuatu apapun yang dapat untuk mengalihkan perhatiannya. Dan tidak bisa terus‑terusan berpura‑pura tentang adanya burung khayalan.

Tekad majikan kecil itu sudah bulat dan akhirnya Raicharan pun kehabisan akal. “Baiklah, nak,” akhirnya ia berkata, “duduk­lah dengan tenang di mobil ini, dan aku akan pergi mengambilkan bunga cantik itu untukmu. Tapi ingat ya, jangan dekat‑dekat ke air itu.”

Setelah berkata demikian iapun menarik pakaiannya sampai sebatas lutut dan mengarungi lumpur yang terus mengalir tadi menuju ke pohon tersebut.

Begitu Raicharan pergi, si kecil berjalan dengan cepat menuju ke air terlarang tadi. Ia memandangi sungai yang mengalir deras itu, yang berdebur dan berdeguk saat melintas. Seolah‑olah arus air yang bandel itu melarikan diri dari raksasa seperti Raicharan dengan bunyi bagai tawa ribuan bocah cilik.

Melihat kenakalan mereka, hati anak manusia itu menjadi senang dan gemas. Dengan diam‑diam iapun turun dari go‑cart‑nya dan berjalan tertatih‑tatih mendekati sungai. Di tengah jalan ia memungut sebatang ranting dan mencondongkan tubuhnya ke arus deras itu, seperti orang yang sedang memancing. Peri‑peri sungai yang nakal dengan suara misterius mereka seakan memanggil‑mang­gilnya untuk masuk ke dalam istana bermain mereka yang mengasyik­kan.

Raicharan telah memetik segenggam penuh bunga dari pohon tadi, dan sedang membawanya kembali menggunakan ujung pakaiannya dengan wajah yang diliputi senyum ceria. Tapi ketika ia telah mencapai go‑cart  tadi tak ada seorangpun di sana. Ia melihat‑lihat ke segala arah dan tak mendapati seorangpun. Ia menengok lagi ke go‑cart itu namun juga tetap tak ada siapapun di sana.

Pada awal saat yang mengerikan itu darahnya membeku. Di depan matanya seluruh dunia ini berenang berputar seperti kabut hitam. Dari dasar lubuk hatinya yang hancur ia berteriak:

“Tuaaan…! Tuaaan…! Tuan Keciiil…!”

Tapi tak terdengar sahutan yang menjawab Chan‑na…!  Tak ada suara tawa nakal anak kecil, tak ada teriakan gembira si kecil yang menyambut kedatangannya. Hanya sungai yang terus mengalir itu, dengan bunyi debur dan deguknya seperti semula, seolah tak tahu apa‑apa dan tak punya waktu untuk mengikuti ‘peristiwa kecil kemanusiaan’ semacam kematian seorang balita tersebut.

Ketika senja telah lewat, nyonya majikan Raicharan menjadi khawatir. Ia mengutus orang‑orang untuk pergi mencari ke segala arah. Merekapun berangkat dengan membawa lentera di tangan, dan akhirnya sampai di tepian Sungai Padma. Di sana mereka mendapati Raicharan sedang mondar‑mandir berkeliaran di persawahan seperti angin badai, meneriakkan jeritan putus asa:

“Tuaaan…! Tuaan…! Tuan Keciiil…!”

Pada akhirnya ketika mereka membawanya pulang ke rumah, ia langsung jatuh menyungkur di depan kaki nyonya majikannya. Mereka mengguncang‑guncang tubuhnya dan menanyainya berulang‑ulang di mana tadi ia tinggalkan si kecil, namun yang dapat dikatakannya hanyalah bahwa ia tidak tahu.

Meskipun semua orang beranggapan bahwa Sang Padma telah menelan bocah cilik itu, namun masih ada keraguan terselip di benak mereka karena sekelompok gipsi terlihat berada di luar desa itu pada siangnya dan ada kecurigaan ditujukan terhadap mereka.

Sang ibu dalam kesedihannya yang dalam bertindak terlampau jauh karena menganggap bahwa mungkin saja Raicharan sendiri yang menculik anak itu. Dengan suara lirih wanita itu memohon dengan pilu kepadanya:

“Raicharan, kembalikan anakku. Oh, kembalikan puteraku. Ambillah berapapun uang yang kau minta, tapi kembalikan puteraku!”

Raicharan hanya mampu membentur‑benturkan keningnya sebagai jawaban. Nyonya majikannya pun menyuruhnya keluar dari rumah itu. Anukul berusaha menyadarkan istrinya dari kecurigaan yang tidak adil ini. “Kenapa dia akan melakukan kejahatan seperti itu?” katanya.

Sang ibu hanya menjawab, “Anak itu memakai perhiasan di tubuhnya. Siapa tahu kan?”

Setelah itu tidak mungkin lagi membu­juk wanita itu.

Raicharan pulang kembali ke desa asalnya. Sampai saat itu ia tidak punya anak, dan sudah tidak dapat diharapkan lagi ia akan mendapat seorang anak. Namun terjadilah sebelum akhir tahun itu istrinya melahirkan seorang bayi kemudian meninggal. Mulanya kebencian yang meluap‑luap tumbuh di hati Raicharan saat melihat bayi yang baru lahir itu. Di dalam benaknya ada kecurigaan sengit bahwa kedatangannya untuk merebut kedudukan majikan kecilnya dulu. Ia juga berpikir bahwa adalah merupakan suatu tindakan yang berani untuk bersuka cita atas puteranya sendiri setelah apa yang baru saja menimpa anak majikannya. Sungguh, seandainya bukan karena adik perempuannya yang telah janda yang merawatnya, umur bayi merah itu takkan panjang.

Namun perlahan‑lahan terjadi perubahan pada pikiran Raicharan. Suatu hal yang ajaib terjadi. Bayi baru ini mulai merangkak‑rangkak dan melintasi pintu dengan kenakalan di wajahnya. Ia pun menunjukkan kecerdasan yang mengagumkan dalam usahanya menghindarkan diri. Suaranya, bunyi tawa dan tangisnya, tin­dak‑tanduknya, sama seperti majikan kecilnya yang dulu itu. Selama beberapa hari ketika Raicharan menyimak jeritan‑jeri­tannya, jantungnya tiba‑tiba berdebar kencang tak karuan sampai menghentak ke tulang‑tulang rusuknya, seolah‑olah majikan ciliknya yang dulu itu sedang menjerit entah di mana di suatu tempat di negeri maut karena ia kehilangan Chan‑na‑nya.

Phailna, nama yang diberikan oleh adik perempuan Raicharan kepada bocah itu, belajar bicara dengan cepat. Ia mulai belajar mengucapkan Ba‑ba dan Ma‑ma dengan aksen bocahnya. Ketika Raicharan mendengar suara yang tak asing ini tiba‑tiba misteri itupun menjadi jelas. Majikan cilik itu tak dapat membuang ejaan Chan‑na‑nya, oleh sebab itulah iapun kini lahir kembali di ru­mahnya sendiri.

Bagi Raicharan alasan‑alasan yang tak terbantahkan adalah: Pertama, bayi itu lahir tak lama setelah tuan kecilnya meninggal. Kedua, istrinya tak mungkin memperoleh keberuntungan sebegitu besarnya sehingga bisa melahirkan seorang putera pada usia yang sudah setengah baya. Ketiga, sang balita berjalan tertatih‑tatih dan menyerukan Ba‑ba dan Ma‑ma. Tak ada tanda‑tanda yang kurang sedikitpun tentang sifat seorang hakim di masa depan.

Tiba‑tiba Raicharan teringat tuduhan dahsyat dari sang ibu dulu itu. “Ah,” ujarnya kepada diri sendiri, “Naluri sang ibu memang benar. Ia tahu kalau aku telah mencuri anaknya.” Begitu ia menarik kesimpulan ini, dirinya dipenuhi penyesalan yang dalam karena ketidak‑acuhannya dulu.

Kini diserahkannya seluruh jiwa dan raganya kepada anak itu, dan menjadi pembantunya yang setia. Ia pun membesarkan anak itu dengan memperlakuannya bagaikan anak orang kaya. Dibelikannya sebuah go‑cart, sebuah mantel satin kuning sebatas pinggang, dan topi berenda emas. Ia mencairkan semua perhiasan mendiang istrinya dan membuatnya menjadi gelang‑gelang kaki. Ia tak mengijinkan bocah itu bermain dengan orang lain di lingkungan sekitarnya, dan menjadikan dirinya sendiri sebagai satu‑satunya teman bermainnya sepanjang siang dan malam.

Ketika bocah tersebut memasuki masa kanak‑kanaknya, ia sangat disayang, dimanja dan diberi dandanan yang bagus‑bagus sehingga anak‑anak lainnya di desa itu menyebutnya ‘Sang Pangeran’ dan mengolok‑oloknya, sedangkan orang‑orang yang lebih tua menganggap Raicharan sebagai seseorang yang aneh karena begitu tergila‑gilanya kepada si bocah.

Akhirnya tibalah saatnya anak itu masuk sekolah. Raicharan menjual sebidang tanah kecilnya dan berangkat ke Kalkuta. Di sana setelah bersusah‑payah ia memperoleh pekerjaan sebagai seorang pembantu, dan memasukkan Phailna ke sekolah. Ia rela menanggung penderitaan untuk memberi anak itu pendidikan terbaik, pakaian terbaik, dan makanan terbaik. Sementara untuk dirinya sendiri ia cukup hidup hanya dengan sesuap nasi, dan berkata dalam batinnya:

“Ah, Tuan Kecilku. Tuan Kecilku sayang, kau begitu mencin­taiku karena kau kembali ke rumahku. Kau takkan pernah lagi kuabaikan.”

Dua belas tahunpun berlalu dengan cara demikian. Anak itu telah pandai membaca dan menulis. Ia cerdas, sehat dan tampan. Ia pun sangat memperhatikan penampilannya dan sangat teliti mengatur rambutnya. Ia suka boros dan berdandan bagus serta menggunakan uang seenaknya. Ia tak pernah dapat memandang Raicharan sebagai seorang ‘ayah’ karena meski memberikan kasih‑sayang kebapakan, Raicharan pun berperilaku sebagai seorang pembantu. Satu kesala­han mendasar  adalah bahwa Raicharan merahasiakan kepada siapa saja bahwa dialah sesungguhnya ayah anak itu. Para siswa di asrama tempat Phailna tinggal sangat senang dengan tingkah laku udik Raicharan, dan memang harus diakui bahwa di balik punggung ayahnya, Phailna pun ikut‑ikutan bergabung dengan mereka. Namun di lubuk hati mereka, semua siswa itu mencintai orang tua yang lugu dan berhati lembut ini, dan Phailna pun sangat sayang padanya. Namun seperti telah dikatakan tadi, ia mencintainya sekaligus dengan sikap merendahkannya.

Raicharan semakin uzur, sementara majikannya sering menya­lahkan pekerjaannya yang tidak beres. Ia telah menyiksa dirinya demi anak itu. Maka fisiknya pun menjadi lemah dan tak lagi mampu menunaikan tugas‑tugasnya dengan baik.

Ia mulai pelupa, otaknya menjadi tumpul dan bodoh. Sedang­kan majikannya menginginkan seorang pembantu yang bekerja dengan giat dan tangkas serta tidak mau mentolerir uzur apapun. Uang yang dibawa Raicharan dari hasil menjual tanahnya telah habis. Sementara pemuda itu terus mengomel tentang pakaiannya dan minta uang lebih banyak lagi.

Raicharan akhirnya mengambil keputusan. Ia tak dapat lagi meneruskan bekerja sebagai pembantu, dan sambil meninggalkan sejumlah uang kepada Phailna ia berkata:

“Aku ada urusan yang harus dikerjakan di desa tempat ting­galku, dan akan kembali lagi secepatnya.”

Ia pun berangkat saat itu juga ke Baraset di mana Anukul menjadi hakim. Istri Anukul masih larut dalam kesedihannya. Wanita itu tidak mempunyai anak lainnya.

Pada suatu hari Anukul sedang mengaso setelah melewati satu hari yang panjang dan melelahkan di pengadilan. Istrinya sedang membeli suatu ramuan jamu dengan harga yang sangat mahal dari dukun penjual obat yang katanya bisa membantu kelahiran seorang anak. Terdengar suara sapaan seseorang di halaman. Anukul beran­jak keluar untuk melihat siapa gerangan yang datang, ternyata Raicharan. Hati Anukul luluh ketika melihat mantan pembantunya itu. Ia pun bertanya banyak hal kepadanya, dan menawarinya untuk bekerja lagi.

Raicharan tersenyum simpul dan menjawab, “Saya ingin men­yampaikan sembah takzim kepada nyonya saya.”

Anukul berjalan ke dalam rumah bersama Raicharan, di mana sang nyonya tidak menyambutnya sehangat mantan majikan laki‑lakinya. Namun Raicharan tidak begitu mempedulikan dan hanya merangkapkan kedua belah telapak tangannya.

“Bukan Padma yang telah mencuri putera anda, tapi saya.”

Anukul berseru:

“Astaga! Ha, apa? Di mana dia sekarang?”

Raicharan menjawab, “Ia bersama saya. Akan saya antar besok lusa.”

Saat itu hari Ahad, tidak ada sidang di pengadilan. Kedua suami‑istri itu melihat‑lihat dengan penuh harap ke sepanjang jalan, menanti sejak pagi sekali akan kemunculan Raicharan. Pada pukul sepuluh iapun datang sambil menggandeng tangan Phailna.

Istri Anukul tanpa bertanya‑tanya langsung saja memeluk anak itu dan lupa diri dalam luapan rasa gembira, kadang tertawa‑tawa, kadang menangis, memegang‑megangnya, mencium rambut dan keningnya, dan memandanginya dengan tatapan yang sangat antusias. Pemuda itu sangat elok dan berpakaian seperti putera seorang yang terpandang. Hati Anukul pun diluapi rasa kasih‑sayang yang tiba‑tiba saja muncul.

Meskipun begitu dengan kebijakannya sebagai hakim ia ber­tanya juga:

“Apa kau punya bukti?”

Raicharan menjawab, “Bagaimana ada bukti untuk perbuatan seperti ini? Hanya Tuhan saja yang tahu kalau saya yang telah mencuri putera anda, dan tak ada orang lain lagi di dunia ini.”

Ketika Anukul menyaksikan betapa lengketnya sang istri kepada pemuda itu, ia menyadari hanya sia‑sia saja meminta suatu bukti. Akan lebih bijaksana untuk percaya saja. Lagi pula dari mana laki‑laki tua seperti Raicharan mendapatkan pemuda seperti itu? Dan kenapa pula pembantu kepercayaannya sampai hati menipunya bila tidak ada suatu pamrih sama sekali?

“Tapi…,” katanya menambahkan dengan nada berat, “Raichar­an, kau tidak boleh tinggal di sini.”

“Kemana lagi saya hendak pergi, Tuan?” tanya Raicharan dengan suara tercekik sambil merangkapkan kedua telapak tangannya. Saya sudah tua. Siapa yang mau memperkerjakan seorang laki‑laki tua sebagai pembantu?”

Sang nyonya majikannya berkata, “Biarkan dia tinggal. Anakku akan senang, aku mema’afkannya.”

Tapi naluri hakim Anukul tidak mengijinkannya. “Tidak,” ujarnya, “ia tak dapat dima’afkan atas perbuatannya itu.”

Raicharan membungkuk ke tanah dan memegangi kaki Anukul. “Tuan,” tangisnya, “biarkan saya tinggal. Bukan saya yang melaku­kannya, tapi Tuhan.”

Nurani Anukul lebih terpukul lagi ketika Raicharan berusaha meletakkan kesalahan di pundak Tuhan. “Tidak,” katanya, “aku tak dapat mengijinkannya. Aku tidak lagi dapat mempercayaimu. Kau telah melakukan pengkhianatan.”

Raicharan bangkit berdiri dan berkata, “Bukan saya yang telah melakukannya.”

“Lalu siapa?” tanya Anukul.

Raicharan menjawab, “Nasib saya.”

Tapi tak ada seorang berpendidikanpun yang akan menerima ini sebagai alasan. Anukul tetap pada pendiriannya.

Ketika Phailna melihat kenyataan bahwa dirinya adalah putera seorang hakim yang kaya, dan bukanlah anak Raicharan, mulanya ia marah. Memikirkan bahwa selama ini ia telah ditipu mengenai asal‑usulnya. Namun menyaksikan Raicharan sedang dalam kesulitan begitu, ia berkata dengan baik hati kepada “ayahnya”:

“Ayah, ma’afkanlah dia. Bahkan kalau Ayah tidak mengijin­kannya tinggal bersama kita, biarlah dia mendapat sedikit pensiun bulanan.”

Setelah mendengar ini Raicharan tidak lagi mengucapkan sepatah katapun. Ia memandangi wajah puteranya untuk yang terakhir kalinya lalu memberi hormat kepada mantan tuan dan nyonya maji­kannya. Setelah itu iapun pergi keluar dan menghilang di tengah‑tengah kerumunan manusia di dunia ini.

Pada akhir bulan Anukul mengiriminya sejumlah uang ke desa tempat tinggalnya. Tapi uang itu kembali. Di sana tak ada seorangpun yang bernama Raicharan.

RABINDRANATH TAGORE (1861‑1941) penulis India yang bagus ini, penggubah lagu kebangsaan India dan juga Bangladesh, mendapat Hadiah Nobel di bidang sastra pada tahun 1913. Dikenal sebagai seorang penyair, dramawan, dan novelis baik dalam Bahasa Inggris maupun Bengali. Tagore juga seorang tokoh kemanusiaan yang diakui di seluruh dunia.

SUMBER: http://osprey.bus.brocku.ca/~mulligan/tagore.htm

Alih bahasa oleh Syafruddin HASANI.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Surat Kepada Tuhan (Cerpen Gregorio Lopes Y Fuentes)

Satu‑satunya rumah yang ada di lembah itu berada di atas puncak sebuah bukit kecil. Dari atas ketinggian seperti itu seseorang bisa melihat sungai dan, di sebelah pekarangan untuk memelihara ternak, ladang tanaman jagung yang sudah masak yang di sela‑selanya bertaburan bunga‑bunga kacang merah yang selalu menjanjikan panen yang baik.

Satu‑satunya yang dibutuhkan bumi adalah curah hujan atau setidaknya hujan sedikit saja. Sepanjang pagi itu Lencho, yang sangat mengenal ladangnya, tidak melakukan apapun selain mengawa­si langit ke arah timur laut.

“Sekarang kita benar‑benar akan mendapat air, Bu.”

Istrinya yang sedang menyiapkan makan menjawab:

“Ya, insya Allah.”

Anak‑anak lelaki yang sudah besar sedang bekerja di ladang sementara yang masih kecil bermain‑main di dekat rumah, sampai akhirnya si istri memanggil mereka semua:

“Sini makan dulu!”

Saat mereka sedang makan, seperti yang telah diperkirakan Lencho, tetes‑tetes air hujan yang besar‑besar mulai berjatuhan. Di sebelah timur laut mendung tebal berukuran raksasa bisa dili­hat sedang mendekat. Udara terasa segar dan nyaman.

Pria itu pergi ke luar untuk melihat pekarangan tempat memelihara ternaknya, semata‑mata sekedar ingin menikmati hujan yang mengguyur tubuhnya, dan ketika kembali ia berseru:

“Yang jatuh dari langit itu bukan tetesan‑tetesan air hujan tapi kepingan‑kepingan uang logam baru. Yang besar‑besar sepuluh centavo dan yang kecil‑kecil lima ….”

Dengan ekspresi yang menujukkan kepuasan ia memandang ladang jagung yang masak dengan bunga‑bunga kacang merahnya yang dihiasi tirai hujan. Tapi tiba‑tiba angin kencang mulai berhembus dan bersamaan dengan air hujan bongkahan‑bongkahan es yang sangat besar mulai berjatuhan. Bentuknya memang benar‑benar seperti kepingan‑kepingan uang logam perak yang masih baru. Anak‑anak lelaki yang sedang membiarkan tubuh mereka diguyur hujan berlari‑larian untuk mengumpulkan mutiara‑mutiara beku itu.

“Sekarang benar‑benar semakin buruk!” seru pria itu, geli­sah. “Kuharap semoga cepat berlalu.”

Ternyata tidak cepat berlalu. Selama satu jam hujan es itu menimpa rumah, kebun, lereng bukit, ladang jagung, di seluruh lembah. Ladang itu menjadi putih seperti tertimbun garam. Tak selembar daunpun masih tertinggal di pepohonan. Tanaman jagung itu sama sekali musnah. Bunga‑bungapun rontok dari tanaman kacang merah. Jiwa Lencho dipenuhi kesedihan. Ketika badai itu telah berlalu ia berdiri di tengah‑tengah ladangnya dan berkata kepada anak‑anaknya:

“Wabah belalang masih menyisakan lebih banyak daripada ini. Hujan es sama sekali tak menyisakan apapun. Tahun ini kita tidak punya jagung atau kacang ….”

Malam itu penuh kesedihan.

“Semua kerja kita sia‑sia!”

“Tak ada seorangpun yang dapat menolong kita!”

“Kita akan kelaparan tahun ini ….” Tapi di hati semua orang yang tinggal di rumah yang terpen­cil di tengah lembah itu masih tersisa satu harapan: pertolongan dari Tuhan.

“Jangan terlalu sedih meskipun kelihatannya seperti keru­gian total. Ingatlah, tak ada orang yang mati karena kelaparan!”

“Itulah yang mereka katakan: tak seorangpun mati karena kelaparan ….”

Sepanjang malam itu Lencho hanya memikirkan harapan satu‑satunya: pertolongan dari Tuhan, yang mata‑Nya (sebagaimana diajarkan kepadanya) melihat segala sesuatu, bahkan sampai ke dalam lubuk hati seseorang yang paling dalam sekalipun.

Lencho adalah seorang pekerja keras yang bekerja seperti binatang di ladang, tapi dia masih bisa menulis. Pada hari ahad berikutnya, ketika dinihari, setelah meyakinkan dirinya bahwa masih ada zat yang melindungi, ia mulai menulis sepucuk surat yang akan dibawanya sendiri ke kota dan dimasukkan ke pos.

Itu tidak lain adalah surat kepada Tuhan.

“Tuhan …,” tulisnya, “kalau Kau tidak menolongku, aku dan keluargaku akan kelaparan tahun ini. Aku membutuhkan seratus peso untuk menanami kembali ladangku dan untuk kebutuhan hidup sampai saatnya panen nanti, karena badai es ….”

Dituliskannya “Kepada Tuhan” di atas amplop lalu dimasuk­kannya surat itu kedalamnya, dan masih dengan pikiran dan pera­saan yang galau ia pergi ke kota. Di kantor pos diberinya surat itu perangko kemudian dimasukkannya ke dalam kotak pos.

Salah seorang pegawai di sana, seorang tukang pos yang juga ikut membantu di kantor pos itu, mendatangi atasannya sambil tertawa terpingkal‑pingkal dan memperlihatkan kepadanya surat kepada Tuhan tadi. Selama karirnya sebagai tukang pos, ia tidak pernah tahu di mana alamat itu. Sedangkan sang kepala pos, seorang yang gemuk dan periang, juga tertawa terbahak‑bahak. Namun hampir tiba‑tiba saja ia berubah menjadi serius, dan sambil mengetuk‑ngetukkan surat itu di mejanya iapun berkomentar:

“Keimanan yang hebat! Seandainya imanku seperti imannya orang yang menulis surat ini. Punya kepercayaan seperti keper­cayaannya. Berharap dengan keyakinan yang ia tahu bagaimana caranya. Melakukan surat‑menyurat dengan Tuhan!”

Dengan demikian untuk tidak mengecewakan keajaiban iman itu, yang disebabkan oleh surat yang tak dapat disampaikan, sang kepala pos mengajukan sebuah gagasan: menjawab surat tadi. Namun ketika ia memulainya ternyata untuk menjawabnya ia membutuhkan tidak hanya sekedar kemauan, tinta dan kertas. Tapi tekadnya sudah bulat: ia memungut iuran dari para anak buahnya, ia sendi‑ripun ikut menyisihkan sebagian gajinya dan beberapa orang te­mannya juga diwajibkan untuk ikut memberikan “sumbangan”.

Akan tetapi tidak mungkin baginya untuk mengumpulkan uang sebanyak seratus peso, ia hanya bisa mengirim kepada si petani sebanyak setengahnya lebih sedikit saja. Dimasukkannya lembaran‑lembaran uang itu ke dalam amplop yang dialamatkan kepada Lencho dan bersamanya hanya ada selembar kertas yang bertuliskan satu kata sebagai tanda‑tangan: TUHAN.

Pada hari ahad berikutnya Lencho datang sedikit lebih awal daripada biasanya untuk menanyakan apakah ada surat untuknya. Si tukang pos sendiri yang menyerahkan surat itu kepadanya. Semen­tara sang kepala pos, dengan perasaan puas sebagai orang yang baru saja berbuat kebajikan, menyaksikan lewat pintu keluar‑masuk ruang kerjanya.

Lencho sedikitpun tidak terkejut menyaksikan lembaran‑lembaran uang tadi, sesuai keyakinannya, namun ia menjadi marah setelah menghitung jumlahnya. Tuhan tidak akan keliru atau menya­lahi apa yang diminta Lencho!

Segera saja Lencho pergi ke loket untuk meminta kertas dan tinta. Di atas meja tulis untuk umum iapun mulai menulis sampai‑sampai keningnya sangat berkerut saking bersemangatnya dalam menuangkan gagasannya. Setelah selesai ia pergi lagi ke loket untuk membeli perangko yang lalu dijilat dan kemudian ditempel­kannya di atas amplop dengan pukulan kepalan tangannya.

Setelah surat itu dimasukkan ke dalam kotak pos, sang kepala pos membukanya. Bunyinya:

“Tuhan, dari uang yang kuminta itu, hanya tujuh puluh peso saja yang sampai ke tanganku. Kirimkanlah sisanya kepadaku karena aku sangat membutuhkannya. Tapi jangan dikirimkan kepadaku lewat pos karena para pegawai di kantor pos itu adalah orang‑orang brengsek. Lencho.”

GREGORIO LOPEZ Y FUENTES lahir pada tahun 1895. Dia lahir dan dibesarkan di kalangan orang Indian Mexico. Selain pengarang fiksi ia juga seorang penyair dan wartawan. Pada tahun 1935 ia memenangkan The National Prize of Mexico untuk novelnya El Indio. Cerita ini disadur dari terjemahan Bahasa Inggrisnya oleh Sya­fruddin HASANI.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Harga Seuntai Kalung (Cerpen Guy de Maupasant)

Dia adalah salah satu di antara sekian gadis cantik dan menarik yang, terkadang karena kesalahan takdir, terlahir di tengah keluarga juru tulis. Dia tidak memiliki mas kawin, harapan-harapan, sarana untuk terkenal, dipahami, dicintai, atau dinikahi oleh seorang pria kaya dan terhormat. Dan dia pasrah hanya dinikahi oleh seorang juru tulis biasa yang bekerja di Kementerian Penerangan.

Dandanannya sederhana saja karena dia memang tidak bisa berdandan lebih bagus lagi. Tapi dia bersedih seakan-akan dirinya memang sungguh-sungguh terjatuh dari statusnya yang semestinya, karena dia menjadi seperti wanita kebanyakan pada umumnya.

Dia tak pernah berhenti merasa menderita, dia merasa dirinya dilahirkan untuk menikmati segala keempukan dan kemewahan. Dia menderita karena rumahnya yang sangat sederhana, dindingnya yang buruk, kursi-kursi yang sudah usang, dan tirai-tirai yang sudah jelek. Segala hal itu, yang bagi wanita lain yang sederajat dengannya dianggap biasa saja, telah membuatnya sangat kesal.

Dia melamunkan ruang depan yang tenang, di mana dinding-dindingnya dipasangi permadani oriental, serta diterangi dengan kandil perunggu yang panjang. Dan juga adanya dua orang pelayan bertubuh kekar bercelana pendek yang tertidur di kursi-kursi berlengan. Mereka terkantuk oleh kehangatan udara dari perapian.

Dia pun melamunkan ruang tamu panjang yang dihiasi sutera kuno, mebel-mebel yang antik, dan kamar rias yang semerbak dengan aroma wewangian yang menggoda untuk tempat bercengkerama setiap pukul lima sore dengan teman-teman dekat, atau dengan pria-pria terkenal dan digandrungi, di mana wanita-wanita yang lain akan merasa cemburu karena ingin mendapat perhatian seperti itu juga.

Tiga hari yang lalu ketika sedang duduk makan malam di depan meja bundar yang berlapis taplak, di depan suaminya yang  membuka mangkuk sup dan berkata penuh kekaguman, “Ah, daging sup yang lezat! Tak ada yang lebih enak daripada ini”. Wanita itu justru sedang melamunkan makan malam yang mewah, peralatan makan dari perak yang berkilau, permadani yang memenuhi dinding dengan gambar tokoh-tokoh terkemuka dari masa lalu dan burung-burung aneh yang beterbangan di antara rimbunnya hutan yang ada di negeri dongeng. Dia pun melamunkan hidangan-hidangan lezat yang disajikan di piring yang elok, dan mendengarkan bisikan-bisikan menggoda sambil mengulum senyum ketika sedang menyantap daging ikan trout yang berwarna pink atau sayap burung puyuh.

Dia tidak memiliki gaun-gaun, perhiasan-perhiasan, tidak memiliki apa-apa. Dan tak ada yang disukainya kecuali itu, dia merasa dirinya adalah untuk itu. Dia begitu ingin dirinya bahagia, dicemburui, menarik, dan membuat orang lain tergila-gila.

Dulu ketika masih bersekolah di biara dia memiliki seorang teman yang kaya. Tapi dia tidak mau lagi mengunjunginya, karena dia begitu merasa menderita setelah pulang dari rumah temannya itu.

Namun suatu sore suaminya pulang ke rumah dengan perasaan penuh kemenangan dan membawa sebuah amplop besar di tangannya.

“Ini,” katanya. “Ada sesuatu untukmu.”

Wanita itu segera merobeknya dan menarik selembar kartu bertuliskan:

Menteri Penerangan dan Nyonya Georges Ramponneau dengan hormat mengundang Tuan dan Nyonya Loisel di Gedung Kementerian pada hari Senin sore tanggal delapan belas Januari.

Bukannya gembira seperti yang diharapkan oleh suaminya, tapi malah dilemparkannya undangan itu begitu saja di atas meja. Dengan suara lirih dia berkata:

“Apa yang kau inginkan dariku dengan undangan itu?”

“Tetapi, Sayang, kupikir kau akan senang. Kau kan tidak pernah pergi-pergi, dan ini adalah kesempatan yang bagus. Aku telah bersusah payah mendapatkannya. Setiap orang ingin datang, ini sangat diseleksi, dan mereka tidak memberikan banyak undangan untuk para juru tulis. Semua pejabat akan hadir di sana.”

Dia memandang suaminya dengan tatapan pedih dan berkata dengan gusar:

“Dan menurutmu aku harus memakai apa?”

Suaminya tidak terpikir ke situ, ia berkata dengan gagap:

“Kenapa, gaun yang dulu kau pakai ke teater, bagiku gaun itu cukup bagus.”

Suaminya terdiam, bingung, melihat istrinya menangis. Air matanya jatuh dari kedua ujung matanya dan mengalir perlahan-lahan sampai ke ujung mulutnya. Suaminya berkata gagap:

“Ada apa? Ada apa?”

Tapi dengan usaha yang keras wanita itu segera dapat mengatasi kesedihannya, dan dia menjawab dengan suara yang tenang sambil menyapu kedua belah pipinya yang basah:

“Tak apa-apa. Hanya aku tidak punya gaun dan oleh sebab itu aku tidak bisa berangkat ke pesta. Berikan saja undangan itu kepada salah seorang di antara teman-temanmu yang istrinya lebih baik dandanannya daripada aku.”

Suaminya putus asa. Ia melanjutkan:

“Ayo kita bahas, Mathilde. Berapa harganya sebuah gaun yang pantas, yang nanti bisa kau pakai lagi untuk kesempatan lainnya, gampang kan?”

Istrinya berpikir beberapa detik, membuat kalkulasi harga sambil memperkirakan jumlah yang dapat diajukannya. Jumlah yang dapat diterima serta tidak mengejutkan untuk perekonomian seorang juru tulis.

Akhirnya dia berkata dengan ragu-ragu:

“Aku tidak tahu pasti, tapi kurasa aku bisa mengatasinya dengan empat ratus franc.”

Suaminya agak pucat, karena ia sendiri telah menyisihkan uang sejumlah itu untuk membeli sebuah bedil yang akan digunakannya berburu di musim panas nanti di dataran Nanterre dengan beberapa orang teman yang pada hari Ahad lalu menembak burung-burung lark di sana bersamanya.

Tapi ia berkata:

“Baiklah. Aku akan memberimu empat ratus franc. Dan usahakan untuk mendapat sebuah gaun yang cantik.”

Hari penyelenggaraan pesta itu sudah semakin dekat, tapi Nyonya Loisel tampak murung dan gelisah. Padahal gaunnya sudah siap. Suatu sore suaminya berkata kepadanya:

“Ada apa? Ayolah, kau kelihatan begitu ganjil tiga hari terakhir ini.”

Istrinya menjawab:

“Aku bingung karena tidak memiliki sebuah perhiasan pun, tidak ada sebutir permata, tidak ada yang bisa dipakai. Aku akan kelihatan payah sekali. Lebih baik tidak usah pergi saja.”

Suaminya berkata:

“Kau bisa memakai hiasan dari bunga-bunga alami. Tahun ini hal itu sedang jadi mode. Dengan sepuluh franc kau bisa memperoleh dua atau tiga bunga mawar yang indah.”

Tapi istrinya tidak bisa diyakinkan.

“Tidak, tak ada yang lebih memalukan daripada terlihat miskin di antara wanita-wanita lain yang kaya.”

Tapi suaminya berseru:

“Bodohnya kamu! Pergilah ke rumah temanmu, Nyonya Forestier, dan mintalah kepadanya untuk meminjamimu beberapa perhiasan. Kau cukup akrab dengannya untuk melakukan itu.”

Wanita itu berseru gembira:

“Betul! Aku tak pernah memikirkannya.”

Hari berikutnya dia pergi mengunjungi temannya dan menceritakan kesulitannya.

Nyonya Forestier berjalan ke sebuah lemari pakaian yang berpintu kaca, mengambil sebuah kotak besar berisi perhiasan, membawanya kembali, membukanya, dan berkata kepada Nyonya Loisel:

“Pilihlah, sayangku.”

Pertama kali dipandanginya semua gelang, kemudian seuntai kalung mutiara, lalu salib Venesia, emas dan batu-batu perhiasan hasil karya para seniman yang luar biasa. Dia mencoba perhiasan-perhiasan itu di depan cermin sambil terkagum-kagum. Rasanya dia tak ingin melepasnya lagi, mengembalikannya lagi. Dia selalu bertanya:

“Apakah kau masih punya yang lain?”

“Kenapa, tentu saja. Lihatlah. Aku tak tahu mana yang kausukai.”

Tiba-tiba dia menemukan, di dalam sebuah kotak satin berwarna hitam, seuntai kalung permata yang luar biasa indah, dan jantungnya pun mulai berdebar kencang. Kedua tangannya gemetar saat mengambilnya. Dipasangnya kalung itu ke lehernya, di luar gaunnya yang sampai ke leher. Dan perasaannya terombang-ambing di awang-awang ketika dia menatap dirinya di depan cermin.

Kemudian dia meminta dengan ragu dan memelas:

“Dapatkah kau meminjamkan yang ini, hanya yang ini saja?”

“Kenapa? Ya, tentu saja.”

Dia melompat meraih leher temannya, menciuminya penuh nafsu, lalu berlari dengan perhiasannya.

Hari pesta itu pun tiba. Nyonya Loisel meraih kemenangan besar. Dia adalah satu-satunya wanita tercantik di antara mereka semua. Anggun, sangat ramah, selalu tersenyum dan sangat gembira. Semua pria meliriknya, menanyakan namanya, dan berusaha berkenalan. Semua atase kabinet ingin berdansa dengannya. Bahkan menteri sendiri juga mengajaknya berdansa.

Dia berdansa dengan penuh suka cita. Melupakan semuanya, dalam keunggulan kecantikannya, kesuksesan yang gemilang, serta kegembiraan yang terdiri atas segala pujian, segala kekaguman, segala keinginan yang terbangkitkan, dan atas perasaan kemenangan yang sempurna yang begitu manis dalam hati seorang wanita.

Dia baru selesai sekitar pukul empat pagi. Suaminya telah tertidur sejak tengah malam tadi di sebuah ruang depan yang sepi bersama tiga orang pria lainnya yang istri-istri mereka juga bersenang-senang. Pria itu lalu melampirkan selembar selendang yang telah dibawanya sejak tadi ke bahu istrinya, selendang biasa saja, yang mana saking sederhananya sangat kontras dengan gaun pesta yang dipakainya. Wanita itu merasakannya, dan ingin menghindar sehingga dirinya tidak menjadi bahan pembicaraan wanita-wanita lain yang membungkus tubuh-tubuh mereka dengan mantel bulu yang mahal.

Loisel menahan punggung istrinya.

“Tunggu sebentar. Kau akan kedinginan di luar. Aku akan pergi memanggil sebuah taksi.”

Tapi tak dihiraukannya suaminya, dan dengan cepat dia menuruni tangga. Ketika sudah berada di jalan mereka tidak menemukan kendaraan, dan mereka mulai mencarinya. Mereka berteriak ke arah sopir-sopir taksi yang kendaraannya melaju dari kejauhan.

Mereka berjalan menurun menuju Seine, dalam keputusasaan, menggigil kedinginan. Akhirnya di sebuah dermaga mereka mendapatkan sebuah mobil kuno yang tertutup dan berpintu dua, yang hanya muncul di Paris ketika malam telah turun.

Kendaraan itu mengantar mereka sampai ke depan pintu rumah di Rue des Martyrs, dan sekali lagi, dengan sedih, mereka berjalan pulang ke rumah. Segalanya telah berakhir, bagi wanita itu. Dan bagi sang suami, ia berpikir bahwa ia sudah harus berada di kementerian pada pukul sepuluh.

Wanita itu melepas selendang yang membungkus bahunya di depan cermin, sehingga sekali lagi ingin melihat dirinya dalam segala kejayaannya. Tapi tiba-tiba dia menjerit. Kalungnya tidak lagi berada di lehernya!

Suaminya yang sedang melepas pakaian bertanya:

“Ada apa denganmu?”

Dengan perasaan panik dia berpaling ke arah suaminya.

“Aku … aku … aku telah menghilangkan kalungnya Nyonya Forestier.”

Suaminya bangkit, kalut.

“Apa?! Bagaimana? Mustahil!”

Dan mereka berdua mencari di antara lipatan-lipatan gaunnya, dalam lipatan-lipatan mantelnya, dalam dompet-dompetnya, di mana saja. Tapi mereka tidak menemukannya.

Suaminya bertanya:

“Kau yakin tadi masih memakainya ketika meninggalkan pesta?”

“Ya, aku masih merasakannya di ruang depan gedung.”

“Tapi jika kau menghilangkannya di jalan, kita mestinya mendengar bunyinya ketika jatuh. Jangan-jangan di dalam mobil.”

“Ya, mungkin saja. Apakah kau mencatat nomornya?”

“Tidak. Dan kau, apakah kau memperhatikannya?”

“Tidak.”

Bagai disambar petir, mereka saling memandang. Akhirnya Loisel mengenakan kembali pakaiannya.

“Aku akan kembali menelusuri jalan tadi dengan berjalan kaki,” katanya, “ke seluruh rute yang telah kita lalui untuk memeriksa kalau-kalau dapat menemukannya.”

Lalu ia pun pergi ke luar. Sedangkan istrinya menunggu di kursi dengan gaun pestanya, tanpa ada tenaga untuk pergi ke tempat tidur, tak berdaya, tanpa semangat, tanpa pikiran.

Suaminya kembali lagi sekitar pukul tujuh pagi. Ia tidak menemukan apa-apa.

Kemudian laki-laki itu pergi lagi ke kantor-kantor polisi, kantor-kantor surat kabar, untuk menawarkan imbalan bagi siapa yang menemukannya. Ia pergi ke perusahaan-perusahaan taksi, ke mana saja, sesungguhnya, ke mana dirinya terdorong oleh seberkas harapan.

Istrinya menunggu sepanjang hari, dalam kecemasan yang sama seperti sebelum petaka itu terjadi.

Malamnya Loisel pulang dengan lemah dan pucat. Ia kembali tak menemukan apa-apa.

“Kau harus menulis surat kepada temanmu,” katanya, “bahwa kau telah merusak jepitan kalung itu sehingga kau harus membetulkannya. Dengan demikian kita masih punya kesempatan untuk mengembalikannya.”

Dia menulis mengikuti dikte dari suaminya.

Pada akhir dari pekan itu mereka telah kehilangan semua harapan.

Dan Loisel, yang tampak semakin cepat bertambah tua lima tahun, memutuskan:

“Sekarang kita harus memikirkan bagaimana caranya untuk mengganti perhiasan itu.”

Hari berikutnya mereka membawa kotak kalung itu menuju ke toko perhiasan yang namanya tercantum di kotak itu. Pemilik toko tadi kemudian memeriksa catatannya.

“Bukan saya yang menjual kalung itu, Nyonya.”

Kemudian mereka pergi dari satu toko perhiasan menuju ke toko perhiasan yang lain untuk mencari kalung seperti itu. Mereka berdua saling mencocokkan ingatan masing-masing satu sama lain. Keduanya merasa tersiksa dan menderita.

Akhirnya di sebuah toko di Palais Royal mereka menemukan seuntai kalung permata yang benar-benar mirip dengan yang mereka cari. Kalung itu berharga empat puluh ribu franc. Mereka bisa menawarnya sampai tiga puluh enam ribu.

Mereka meminta kepada penjual kalung itu untuk tidak menjualnya kepada orang lain selama tiga hari ini. Dan mereka menawarkan bahwa si penjual tadi bisa membeli kembali kalungnya seharga tiga puluh empat ribu franc seandainya mereka berdua bisa menemukan kalung yang hilang sebelum akhir Februari.

Loisel memiliki delapan belas ribu franc dari peninggalan ayahnya. Ia harus meminjam sisanya.

Ia pun mencari pinjaman. Meminta seribu franc dari seseorang, lima ratus franc dari yang lainnya, lima louis di sini, tiga louis di sana. Ia memberi surat utang, mengambil utang-utang yang berbunga tinggi, membuat persetujuan dengan para rentenir dan semua orang yang biasa meminjamkan uang. Ia mempertaruhkan sisa hidupnya, mempertaruhkan tanda-tangannya tanpa mengetahui apakah ia nanti mampu memenuhi janjinya atau tidak. Tanpa menyadari halangan dan musibah yang akan menimpanya, dan kemungkinan tekanan-tekanan batin yang harus ditanggungnya. Ia pergi untuk memperoleh kalung yang baru, membayar dulu kepada penjualnya tiga puluh enam ribu franc.

Ketika Nyonya Loisel mengembalikan kalung itu, Nyonya Forestier berkata dingin kepadanya:

“Seharusnya kau kembalikan lebih cepat, mungkin aku akan memakainya.”

Dia tidak membuka kotaknya, karena temannya tampak begitu ketakutan. Seandainya dia mengetahui penggantian itu, apa yang akan dipikirnya, apa yang akan dikatakannya? Apakah dia tidak akan menuduh Nyonya Loisel sebagai pencuri?

Kini Nyonya Loisel mengerti betapa mengerikannya kemiskinan. Dia terjun ambil bagian, dengan tiba-tiba, secara heroik. Utang-utang yang mengerikan itu harus dibayar. Dan dia akan membayarnya. Mereka memulangkan pembantu, mengubah tata ruang tempat tinggal mereka dan menyewakan ruangan di loteng.

Kini dia merasakan betapa beratnya pekerjaan rumah tangga dan merawat dapur yang kotor. Dia mencuci peralatan makan, dengan kuku-kukunya yang kemerahan pada panci dan periuk yang berminyak. Dia mencuci kain-kain kotor, baju-baju dan lap-lap, yang kemudian dijemur pada seutas tali. Dia membuang air limbah setiap pagi ke jalanan, lalu mengambil air bersih, kemudian berhenti untuk menarik napas setiap kali sampai. Dan, berdandan seperti wanita kebanyakan pada umumnya. Dia pergi berbelanja ke tukang buah, grosir, tukang daging, membawa keranjang, melakukan tawar-menawar, menahan hinaan, mempertahankan uangnya yang sedikit sou demi sou.

Setiap bulan mereka harus melunasi beberapa utang dan mencari pinjaman yang lain lagi, mengulur waktu.

Suaminya pada petang hari bekerja membuat salinan untuk beberapa catatan dari pedagang, dan pada larut malam ia sering menyalin berkas-berkas dengan upah lima sou per lembar.

Dan kehidupan seperti ini berakhir setelah sepuluh tahun. Dan sesudah sepuluh tahun berlalu, mereka telah membayar semuanya, semua utang dengan bunga-bunganya.

Nyonya Loisel terlihat tua sekarang. Dia telah menjadi seorang ibu rumah tangga dari kalangan biasa. Kuat, keras, dan kasar. Dengan rambut tak teratur rapi, rok miring, dan tangan yang merah. Dia berbicara dengan lantang ketika sedang membersihkan lantai di antara gemericiknya bunyi air. Namun terkadang, ketika suaminya sedang berada di kantor, dia duduk di samping jendela, dan mengenang malam indah yang telah berlalu dulu. Tentang pesta itu, di mana dirinya begitu cantik dan begitu mempesona.

Apa yang terjadi seandainya dia tidak menghilangkan kalung itu? Siapa yang tahu? Siapa yang tahu? Betapa kehidupan ini begitu aneh dan mudah berubah-ubah! Betapa mudahnya kita kehilangan sesuatu atau tetap memilikinya!

Namun, pada suatu hari Ahad, ketika sedang berjalan-jalan di Champs Elysees untuk menyegarkan pikirannya dari pekerjaan rutin selama sepekan, dia tiba-tiba mengenali seorang wanita yang sedang membimbing seorang anak kecil. Wanita itu adalah Nyonya Forestier. Dia terlihat masih muda, cantik, dan tetap memikat.

Nyonya Loisel merasakan kepiluan di hatinya. Akankah dia mengajaknya berbicara? Ya, pasti. Dan sekarang karena dirinya telah melunasi semuanya, dia akan menceritakan kepada wanita itu tentang segala yang telah terjadi. Kenapa tidak?

“Selamat sore, Jeanne.”

Wanita yang disapa terperanjat atas keramahan dari seorang ibu rumah tangga yang sederhana itu, bahkan sama sekali tak dapat mengenalinya. Ia berkata gagap:

“Tapi, Nyonya, saya tidak kenal. Anda pasti keliru?”

“Tidak. Aku adalah Mathilde Loisel.”

Kawannya itu memekik kecil.

“Oh, Mathilde-ku yang malang. Kenapa kau bisa berubah sampai seperti ini?”

“Ya, aku telah melewati hari-hari yang berat, sejak aku mengunjungimu dulu, hari-hari yang sangat buruk. Dan semua itu karena engkau!”

“Karena aku?! Bagaimana mungkin?”

“Apakah kau masih ingat tentang kalung permata yang telah kau pinjamkan kepadaku dulu untuk pergi ke pesta di kementerian?”

“Ya. Lalu?”

“Yeah, aku menghilangkannya.”

“Apa maksudmu? Bukankah kau telah mengembalikannya?”

“Yang kukembalikan kepadamu dulu itu adalah gantinya yang benar-benar persis dengan itu. Dan untuk itu kami harus membayarnya selama sepuluh tahun. Engkau tentu tahu bahwa hal itu tidaklah mudah bagi kami, kami yang tidak punya apa-apa ini. Akhirnya berlalulah sudah, dan aku sangat senang.”

Nyonya Forestier menghentikan langkahnya.

“Kau mengatakan bahwa kalian telah membeli kalung permata untuk mengganti milikku itu?”

“Ya, dan kau tidak pernah memperhatikannya! Kedua kalung itu memang benar-benar serupa.”

Dia pun tersenyum gembira dengan perasaan bangga dan naif sekaligus.

Nyonya Forestier merasa sangat iba, dipegangnya kedua belah tangan temannya itu.

“Oh, Mathilde-ku yang malang! Mengapa? Kalungku itu hanyalah imitasi. Harganya paling mahal cuma lima ratus franc saja!”

GUY DE MAUPASANT (1850-1893) adalah anak seorang pialang saham di Paris. Ia menjadi anak baptis dari Gustav Flaubert yang juga menjadi guru sastranya. Sejak usia tiga puluh tahun kepiawaiannya di bidang cerita pendek sudah mendapat pengakuan. Judul asli cerita ini La Parure.

SUMBER: http://mbhs.bergtraum.k12.ny.us/cybereng/shorts/necklace.html

Alih bahasa Syafruddin HASANI.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Tuhan Maha Tahu Tapi Sabarlah (Cerpen Leo Tolstoy)

Di kota Vladimir hiduplah seorang saudagar muda yang bernama Ivan Dimitrich Aksionov. Ia memiliki sebuah rumah dan dua buah toko.

Aksionov adalah seorang pria tampan berambut pirang keriting, penuh canda dan gemar menyanyi. Ketika masih sangat muda ia suka minum‑minum dan bikin ribut kalau mabuk. Tapi setelah menikah ia pun berhenti minum, kecuali sesekali saja.

Pada suatu musim panas Aksionov akan berangkat ke Pasar Malam Nizhny, dan ketika berpamitan dengan keluarganya, istri­nya berkata, “Ivan Dimitrich, jangan berangkat hari ini. Aku telah bermimpi buruk tentangmu.”

Aksionov tertawa dan menyahut, “Kau khawatir kalau sesampainya di sana nanti, aku akan berfoya‑foya.”

Istrinya menjawab, “Aku tak tahu apa yang kukhawatirkan, yang kutahu hanyalah bahwa aku telah bermimpi buruk. Dalam mimpi itu kulihat setelah kau pulang dari kota dan membuka topi, seluruh rambutmu telah ubanan.”

Aksionov tertawa. “Itu pertanda baik,” ujarnya. “Lihat kalau sampai aku tidak menjual habis semua barang‑barangku, dan membawakanmu oleh‑oleh dari sana.”

Maka iapun berpamitan kepada keluarganya dan berangkat dengan kereta kudanya.

Ketika baru setengah perjalanan ia berjumpa dengan seorang saudagar kenalannya, dan merekapun menginap di losmen yang sama malam itu. Mereka menikmati teh bersama dan setelah itu berangkat ke tempat tidur di ruang yang bersebelahan.

Bukanlah kebiasaan Aksionov untuk tidur sampai larut, dan karena ingin berangkat ketika hari masih dingin, ia mem­bangunkan kusirnya sebelum fajar dan menyuruhnya menyiapkan kuda. Kemudian ia pergi ke tempat pemilik losmen yang tinggal di sebuah pondok di belakang, membayar sewanya dan melanjutkan perjalanan.

Setelah berjalan kira‑kira sejauh dua puluh lima mil, ia menyuruh berhenti untuk memberi makan kuda. Aksionov beristi­rahat sejenak di gang losmen, lalu ia beranjak ke serambi depan dan sambil menyuruh untuk memanaskan samovar, iapun mengeluarkan gitarnya dan mulai memainkannya.

Tiba‑tiba sebuah troika mendekat dengan bunyi lonceng yang bergemerincing, seorang perwira turun diikuti oleh dua orang prajurit. Ia mendatangi Aksionov dan mulai menanyainya, tentang siapa dia dan kapan dia datang. Aksionov menjawab semua pertanyaannya, dan berkata,”Bersediakah Anda minum teh bersama saya?” Tapi sang perwira tetap meneruskan menanyainya.

“Di mana Anda menginap tadi malam? Apakah Anda sendirian ataukah bersama seorang saudagar yang lain? Apakah Anda ber­jumpa dengan seorang saudagar yang lain pagi ini? Kenapa Anda tinggalkan losmen itu sebelum fajar?”

Aksionov heran kenapa ia ditanyai dengan semua perta­nyaan itu, namun iapun menceritakan juga semua yang telah dialaminya, lalu menambahkan, “Kenapa Anda menanyai saya berulang‑ulang begitu seakan‑akan saya ini seorang pencuri atau perampok saja? Saya sedang dalam perjalanan bisnis, dan tidak perlu menginterogasi seperti itu.”

Kemudian sang perwira sambil memanggil para prajurit berkata, “Saya adalah perwira polisi di distrik ini, dan saya menanyai Anda karena saudagar yang menginap bersama Anda semalam telah ditemukan dalam keadaan tewas dengan leher tergorok. Kami harus memeriksa barang‑barang Anda.”

Merekapun memasuki rumah. Para prajurit dan perwira polisi tadi membuka kopor‑kopor Aksionov dan menggeledahnya. Tiba‑tiba sang perwira menarik sebilah pisau dari sebuah tas sambil berseru, “Pisau siapa ini?” Aksionov yang melihat sebilah pisau bernoda darah ditarik dari tasnya menjadi takut.

“Bagaimana ada darah di pisau ini?”

Aksionov berusaha menjawab namun dengan susah payah hanya mampu berucap dengan terbata‑bata:

“A‑ku ti‑dak ta‑hu. Bu‑kan mi‑lik‑ku.”

Kemudian sang perwira polisi berkata, “Pagi ini saudagar itu ditemukan di atas ranjang dengan leher tergorok. Andalah satu‑satunya orang yang dapat melakukannya. Rumah itu dikunci dari dalam dan tak ada orang lain di sana. Pisau bernoda darah ini berada di dalam tas Anda, lagi pula sudah jelas kelihatan dari wajah dan sikap Anda! Katakan bagaimana Anda membunuhnya, dan berapa banyak uang yang Anda curi?”

Aksionov bersumpah bahwa dirinya tidak melakukan hal itu. Dia tidak berjumpa lagi dengan saudagar itu sejak mereka usai minum teh bersama, dia tidak punya uang selain delapan ribu rubel miliknya sendiri, dan bahwa pisau itu bukan milik­nya. Tapi suaranya pecah, wajahnya pucat, dan dia pun gemetar ketakutan seakan‑akan memang bersalah.

Sang perwira polisi memerintahkan anak buahnya untuk mengikat Aksionov dan memasukkannya ke dalam kereta. Ketika mereka mengikat kedua kakinya jadi satu dan menghempaskannya ke dalam kereta, Aksionov berdoa dengan membuat isyarat tanda salib dengan tangannya dan menangis. Uang dan barang‑barangnya disita, ia dikirim ke kota terdekat dan ditahan di sana. Penyelidikan tentang diri­nya dilakukan di Vladimir. Para saudagar dan penduduk lain di kota itu mengatakan bahwa dulunya ia memang suka minum‑minum dan membuang‑buang waktu percuma, namun dia adalah orang baik. Kemudian sidang pengadilanpun digelar: ia dituduh telah membu­nuh seorang saudagar dari Ryazan dan merampoknya sebanyak dua puluh ribu rubel.

Istrinya putus asa dan tidak tahu apa yang harus dipercaya. Anak‑anaknya masih kecil, yang seorang malah masih menyusu. Sambil membawa mereka semua, ia berangkat ke kota di mana suaminya ditahan. Mulanya ia tidak diijinkan menjumpai suami­nya, namun setelah memohon dengan amat sangat, iapun mendapat­kan ijin dari para pejabat dan diantar menemui suaminya. Ketika melihat suaminya memakai seragam tahanan dan dirantai, dikurung bersama para pencuri dan penjahat—wanitu itupun jatuh pingsan dan tidak sadar‑sadar sampai beberapa lama. Setelah siuman ia menarik anak‑anaknya ke dirinya dan duduk di samping suaminya. Diceritakannya tentang keadaan di rumah, dan menanyakan apa yang menimpa suaminya. Pria itupun menceritakan semuanya. Lalu sang istri bertanya, “Apa yang dapat kita per­buat sekarang?”

“Kita harus mengajukan permohonan kepada Tsar agar tidak membiarkan orang yang tidak bersalah binasa.”

Istrinya mengatakan bahwa ia telah mengajukan permohonan itu kepada Tsar, tapi tidak dikabulkan. Aksionov tidak menja­wab namun hanya tampak putus asa.

Kemudian istrinya berkata, “Ternyata bukan tak ada artinya aku dulu bermimpi rambutmu ubanan. Masih ingatkah? Seharusnya kau tidak berangkat pada hari itu”. Dan sambil membelai rambut suaminya iapun berkata, “Vanya, sayang, kata­kanlah yang sejujurnya kepada istrimu ini. Apakah memang bukan kau yang melakukannya?”

“Jadi kaupun mencurigaiku!” sahut Aksionov, dan sambil membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangan, iapun menangis. Lalu datanglah seorang prajurit yang mengatakan bahwa sang istri dan anak‑anaknya harus pergi. Aksionovpun mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya untuk yang terakhir kali­nya.

Ketika mereka telah pergi, Aksionov mengingat‑ingat percakapan tadi, dan ketika terkenang bahwa istrinyapun ikut mencurigainya, ia berkata pada dirinya, “Tampaknya hanya Tuhan saja yang tahu kebenaran ini, hanya kepada‑Nya kita berdoa dan minta ampun.”

Dan Aksionovpun tidak lagi mengajukan petisi dan berha­rap banyak, ia hanya berdoa kepada Tuhan.

Aksionov dijatuhi hukuman cambuk dan dikirim ke pertam­bangan. Iapun dicambuk dengan cemeti, dan setelah luka‑luka cambukan itu sembuh, ia dibawa ke Siberia bersama para pekerja paksa lainnya.

Selama dua puluh enam tahun Aksionov hidup sebagai seorang pekerja paksa di Siberia. Rambutnya berubah menjadi seputih salju, janggutnyapun tumbuh panjang, tipis, berwarna abu‑abu. Semua keceriaannya punah, ia selalu menunduk, berja­lan perlahan, sedikit bicara, dan tak pernah tertawa, namun sering berdoa.

Di dalam penjara Aksionov belajar membuat sepatu boot, dan memperoleh sedikit uang yang dibelikannya buku Kehidupan Orang‑Orang Saleh. Ia membaca buku itu ketika terdapat cukup cahaya di dalam penjara. Dan setiap hari Ahad di dalam gereja penjara ia membaca pelajaran‑pelajaran serta ikut menyanyi dalam paduan suara karena suaranya masih bagus.

Para pejabat penjara menyukai Aksionov karena kepatuhan­nya, dan teman‑teman sesama napi pun menghormatinya. Mereka menjulukinya dengan sebutan “Kakek” dan “Orang Saleh”. Kalau mereka ingin mengajukan permohonan kepada para pejabat penjara tentang hal apa saja, mereka selalu mengangkat Aksionov seba­gai juru bicaranya. Dan manakala terjadi keributan di antara sesama napi, mereka datang kepadanya untuk memutuskan perkara yang benar.

Tak ada berita yang sampai kepada Aksionov dari rumah­nya, bahkan iapun tak tahu apakah istri dan anak‑anaknya masih hidup.

Suatu hari sekelompok tahanan kerja paksa baru didatang­kan ke penjara. Sorenya, para napi lama mengerumuni rekan‑rekannya yang baru itu dan menanyai mereka: dari kota atau desa mana saja mereka berasal dan dihukum karena perbuatan apa. Di tengah‑tengah istirahat, Aksionov duduk di dekat para pendatang baru itu dan ikut mendengarkan dengan roman muka putus asa atas apa yang diucapkan.

Salah seorang di antara pekerja paksa baru itu adalah seorang pria berumur enam puluh tahunan berperawakan tinggi kekar dan berjenggot lebat terpangkas rapi, ia sedang berceri­ta kepada yang lainnya kenapa dirinya ditahan.

“Baiklah, teman‑teman,” ujarnya, “aku hanya mengambil seekor kuda yang sedang diikat di pengeretan. Lalu aku ditahan dan dituduh atas pencurian. Telah kukatakan bahwa aku mengam­bilnya supaya bisa cepat pulang ke rumah, kemudian melepasnya pergi. Lagi pula, pengendaranya adalah temanku sendiri. Dengan demikian aku bilang, ‘Itu tidak apa‑apa’. Tapi mereka mengata­kan, ‘Tidak. Kau telah mencurinya’. Tapi bagaimana dan kapan aku mencurinya mereka tak dapat menunjukkannya. Dulu, pernah sekali aku memang sungguh‑sungguh berbuat salah, dan seharus­nya berdasar hukum sudah berada di sini sejak lama, tapi ketika itu aku tidak tertangkap. Kini aku dikirim kemari tanpa alasan sama sekali…. Eh, tapi itu cuma bohong yang kucerita­kan kepada kalian. Aku pernah ke Siberia sebelumnya namun tidak tinggal lama.”

“Dari mana asalmu?” tanya seseorang.

“Dari Vladimir. Keluargaku berasal dari kota itu. Namaku Makar, dan mereka juga memanggilku Semyonich.”

Aksionov mengangkat kepalanya dan berkata, “Katakan padaku, Semyonich, apakah kau tahu sesuatu tentang keluarga saudagar Aksionov dari Vladimir? Apakah mereka masih hidup?”

“Tahu tentang mereka? Tentu saja. Keluarga Aksionov kaya, meskipun ayah mereka berada di Siberia, tampaknya seo­rang pendosa juga seperti kita! Lalu bagaimana dengan Anda sendiri, Kek? Bagaimana Anda bisa sampai di tempat ini?”

Aksionov tidak ingin menceritakan kemalangannya. Ia hanya mendesah dan berkata, “Karena dosa‑dosaku maka aku berada di dalam penjara selama dua puluh enam tahun ini.”

“Dosa‑dosa apa?” tanya Makar Semyonich.

Namun Aksionov hanya berkata, “Yah… aku memang layak mendapatkannya!”

Ia tak ingin berkata lebih banyak, namun teman‑temannya memberitahukan kepada para pendatang baru itu bagaimana Aksio­nov bisa sampai ke Siberia. Bagaimana seseorang telah membunuh seorang saudagar, lalu menyelipkan pisaunya ke dalam barang‑barang Aksionov, dan Aksionovpun secara tidak adil telah dijatuhi hukuman.

Ketika Makar Semyonich mendengar semua ini, ia meman­dangi Aksionov, dan berseru sambil menepuk‑nepuk lututnya sendiri, “Wow, sungguh luar biasa! Sangat luar biasa! Tapi betapa cepatnya kau menjadi tua, Kek!”

Yang lainnyapun menanyainya kenapa ia begitu terkejut, dan di manakah ia pernah melihat Aksionov sebelumnya, namun Makar Semyonich tidak memberikan jawaban. Ia hanya berkata, “Ini luar biasa bahwa kita akan bertemu di sini, hai budak‑budak!”

Kata‑kata ini membuat Aksionov bertanya‑tanya apakah pria ini tahu siapa sesungguhnya yang dulu membunuh sang saudagar, maka iapun berkata, “Semyonich, barangkali kau pernah mendengar kejadian itu, atau mungkin kau pernah meli­hatku sebelum ini?”

“Apakah aku pernah mendengarnya? Dunia ini penuh dengan desas‑desus. Tapi peristiwa itu sudah lama sekali dulu, dan aku telah lupa apa yang kudengar.”

“Barangkali kau pernah mendengar siapa yang membunuh saudagar itu?” tanya Aksionov.

Makar Semyonich tertawa dan menjawab, “Dia itu pastilah orang yang di dalam tasnya ditemukan pisau tersebut! Kalaulah  ada orang lain yang meletakkannya di sana, maka ada ungkapan: ‘Dia bukan pencuri sampai tertangkap’, bagaimana ada orang yang bisa meletakkan sebilah pisau di dalam tasmu yang berada di bawah kepalamu? Pastilah akan membuatmu terbangun.”

Ketika Aksionov mendengar kata‑kata ini, ia merasa yakin bahwa orang inilah yang telah membunuh saudagar itu. Iapun bangkit dan pergi. Sepanjang malam itu Aksionov terbaring dalam keadaan jaga. Dia merasa sangat sedih, dan berbagai bayangan muncul di benaknya. Ada bayangan istrinya saat ia meninggalkannya untuk pergi ke pasar malam. Dia melihat wanita itu seakan‑akan hadir: wajah dan matanya muncul di hadapannya, ia mendengar bicara dan tawanya. Lalu ia melihat anak‑anaknya, masih kecil‑kecil ketika itu, yang seorang mengenakan mantel mungil sedangkan yang satunya lagi masih menyusu di dada ibunya.

Lalu ia pun mengenang dirinya sendiri kala itu: muda dan ceria. Ia ingat ketika duduk bermain gitar di beranda losmen itu, di mana dirinya ditangkap. Betapa dulu ia tak pernah merasa susah.

Di benaknya ia melihat tempat di mana dirinya dicambuk, sang algojo, orang‑orang yang berdiri di sekelilingnya, ran­tai‑rantai itu, para pekerja paksa, semua dua puluh enam tahun kehidupannya di penjara, dan usia tuanya yang prematur. Menge­nang semua itu membuatnya sangat sedih hingga ingin rasanya bunuh diri.

“Dan semua ini karena perbuatan bajingan itu!” batinnya. Dan kemarahannya sangat besar kepada Makar Semyonich sehingga ia ingin sekali melakukan balas dendam, walaupun dirinya sendiri harus hancur karenanya. Ia terus mengulang‑ulang doa sepanjang malam itu, namum tetap tidak bisa merasa tentram. Selama siang harinya ia tidak mau berada di dekat Makar Semyo­nich, ataupun melihat ke arahnya.

Dua pekan berlalu seperti itu. Aksionov tak dapat tidur tiap malamnya, dan begitu menderita sehingga tak tahu apa yang harus dikerjakan.

Suatu malam ketika sedang berjalan‑jalan di sekitar penjara ia melihat seonggok tanah terlempar keluar dari bawah salah satu dipan bersusun tempat tidur para napi. Iapun ber­henti untuk mengamati apakah itu gerangan. Tiba‑tiba Makar Semyonich merangkak keluar dari bawah dipan tadi dan memandang ke atas kepada Aksionov dengan ketakutan. Aksionov berusaha berlalu tanpa memandang ke arahnya, tapi Makar Semyonich mencengkeram lengannya dan mengatakan kepadanya bahwa ia telah menggali sebuah lubang di bawah dinding, membuang tanahnya dengan cara memasukkannya ke dalam sepatu boot‑nya yang ting­gi, lalu membuangnya setiap hari ke jalan ketika para napi sedang digiring untuk bekerja.

“Pokoknya kau diam saja, Pak Tua. Dan kaupun akan ikut keluar juga. Kalau kau sampai berkicau maka mereka akan men­cambukku sampai mati, tapi sebelum itu aku akan membunuhmu lebih dulu.”

Aksionov bergetar marah ketika memandang musuhnya. Ia merenggutkan tangannya seraya berkata, “Aku tak ingin melolos­kan diri. Dan kaupun tak perlu membunuhku, kau telah membunuh­ku sejak lama! Tentang melaporkan perbuatanmu ini, aku boleh melakukannya atau tidak, Tuhanlah yang memberi petunjuk.”

Pada hari berikutnya ketika para napi digiring ke peker­jaan mereka, patroli tentara melihat salah seorang napi sedang membuang tanah dari sepatu boot‑nya. Penjara tersebut digele­dah dan terowongan itupun ditemukan. Sang gubernur datang dan menanyai semua napi untuk mencari tahu siapa yang telah meng­gali lubang itu. Mereka semua menyangkal mengetahui hal terse­but. Orang‑orang yang tahupun tidak mau mengkhianati Makar Semyonich, karena tahu bahwa ia akan dicambuk sampai hampir mati.

Akhirnya sang gubernur berpaling kepada Aksionov yang diketahuinya sebagai seorang yang jujur, dan berkata, “Kau adalah seorang tua yang bisa dipercaya, katakan padaku, di depan Tuhan, siapa yang telah menggali lubang itu?”

Makar Semyonich berdiri dengan lagak seakan‑akan tidak begitu peduli, dia memandang kepada sang gubernur dan hanya melihat sekilas ke arah Aksionov. Bibir dan tangan Aksionov bergetar, dan untuk beberapa lama ia tak dapat mengucapkan sepatah katapun. Ia membatin, “Mengapa aku harus melindungi orang yang telah menghancurkan hidupku? Biar dia membayar apa yang telah kuderita ini. Tapi bila aku bicara, mereka mungkin akan mencambuknya sampai mati, dan barangkali kecurigaanku ini bisa saja salah. Lagipula, apa untungnya bagiku?”

“Baiklah, Pak Tua,” ulang sang gubernur, “katakan padaku yang sejujurnya: siapa yang telah menggali di bawah tembok itu?”

Aksionov melihat sekilas ke arah Makar Semyonich, dan berkata, “Aku tak dapat mengatakannya, Tuan. Bukanlah kehendak Tuhan agar aku mengatakannya! Lakukan saja apa yang Anda inginkan atas diriku ini, aku berada di tangan Anda.”

Bagaimanapun sang gubernur telah berusaha, Aksionov tidak mau berkata lebih banyak lagi, dan perkara itupun akhir­nya dianggap selesai.

Malamnya ketika Aksionov berbaring di dipannya dan mulai terlelap, seseorang mendatanginya secara diam‑diam dan duduk di atas dipannya. Iapun memandang dengan tajam menembus kege­lapan dan mengenali Makar Semyonich.

“Apa lagi yang kamu inginkan dariku?” tanya Aksionov. “Kenapa kamu datang ke sini?”

Makar Semyonich diam.

Maka Aksionovpun duduk dan berkata, “Apa maumu? Pergi­lah, atau akan aku panggilkan penjaga!” Makar Semyonich membungkuk ke dekat Aksionov lalu berbi­sik, “Ivan Dimitrich, maafkan aku….”

“Untuk apa?” tanya Aksionov.

“Akulah sebenarnya yang dulu membunuh saudagar itu dan menyembunyikan pisaunya di dalam barang‑barangmu. Aku sebetul­nya bermaksud membunuhmu juga, namun kudengar ada ribut‑ribut di luar, maka kusembunyikan pisau itu ke dalam tasmu dan melarikan diri lewat jendela.”

Aksionov terdiam, dan tak tahu apa yang harus dikatakan­nya. Makar Semyonich beringsut dari dipan itu dan berlutut di atas tanah.

“Ivan Dimitrich,” katanya memohon, “maafkanlah aku. Demi kasih Tuhan, maafkanlah aku. Aku akan mengaku bahwa akulah yang telah membunuh saudagar itu, dan kaupun akan dibebaskan dan bisa pulang ke rumahmu.”

“Mudah saja bagimu bicara begitu,” ujar Aksionov, “tapi aku telah menderita karena ulahmu selama dua puluh enam tahun ini. Ke mana lagi aku hendak pergi sekarang? Istriku sudah meninggal, dan anak‑anakku pun sudah tak ingat lagi kepadaku. Aku tak bisa pergi ke mana‑mana lagi….”

Makar Semyonich tidak bangkit, tapi justru membentur‑benturkan kepalanya ke lantai. “Ivan Dimitrich, maafkan aku!” tangisnya. “Ketika mereka mencambukku dengan cemeti dulu, tidaklah seberapa berat menanggungnya dibandingkan melihatmu seperti saat ini. Bahkan kaupun telah mengasihaniku, dengan tidak mengatakannya kepada mereka siang tadi. Demi Kristus, ampuni aku, aku memang brengsek!” Dan iapun terisak‑isak. Ketika Aksionov mendengarnya menangis terisak‑isak begitu, iapun ikut menangis. “Tuhan akan mengampunimu,” kata­nya. “Mungkin aku seratus kali lebih buruk daripadamu.”

Dan dengan kata‑kata ini hatinyapun terasa ringan dan terang, kerinduan kepada rumah pun hilang. Ia tak ada keingi­nan lagi meninggalkan penjara itu, namun hanya mengharap agar saat‑saat terakhirnya segera tiba.

Terlepas dari apa yang telah dikatakan Aksionov, Makar Semyonich tetap mengakui kesalahannya. Tapi ketika perintah pembebasan atas dirinya dikeluarkan, Aksionov baru saja wafat.

LEO TOLSTOY (1828‑1910) ketika mudanya pernah bergabung di dalam dinas militer Tsar, namun setelah menikah ia menetap dan mengurusi para petani penggarap tanah milik keluarga Yasnaya Polyana. Di sanalah lahir anak‑anaknya, juga novel‑novel terbaiknya: Perang dan Damai dan Anna Karenina. Ia anti keker­asan, mencintai kesederhanaan dan kasih. Karena berani menyam­paikan pendapat dan bertindak sesuai dengan keyakinannya, iapun dikucilkan oleh Gereja Orthodox Rusia. Namun kini ia dianggap sebagai salah seorang tokoh puncak sastra dan seorang manusia yang saleh. Naskah cerita ini dalam Bahasa Inggrisnya berjudul God Sees the Truth, But Waits….

SUMBER: http://www.worditude.com/ebooks/htmlbooks/tolstoy.html

Alih bahasa oleh Syafruddin HASANI

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Perang (Cerpen Luigi Pirandello)

Para penumpang yang baru meninggalkan Roma dengan kereta api cepat malam harus berhenti dan menunggu sampai fajar di sebuah stasiun kecil di Fabriano untuk ganti kendaraan dengan menggunakan kereta tradisional kecil yang melewati jalur utama ke Sulmona.

Ketika fajar, dalam sebuah kereta kelas dua yang di dalamnya sudah ada lima orang penumpang yang telah menunggu sejak tadi malam, seorang wanita berbadan gemuk seperti buntelan tak berbentuk dibantu ditarik naik masuk ke dalam. Ia diiringi oleh suaminya, seorang laki‑laki kecil kurus dan lemah—wajahnya pucat pasi, kedua bola matanya kecil dan tajam serta nampak malu‑malu dan kikuk—yang berjalan terengah‑engah.

Akhirnya setelah mendapat tempat duduk dengan sopan ia berterima kasih kepada para penumpang yang telah menolong istrinya tadi serta bersedia meluangkan tempat duduk untuk wanita itu. Kemudian ia berpaling kepada istrinya dan menarik kerah mantelnya, lalu dengan halus bertanya:

“Engkau baik‑baik saja, Sayang?”

Istrinya bukannya menjawab tapi malah menarik lagi kerahnya sampai ke mata seakan ingin menyembunyikan wajahnya.

“Dunia yang parah,” keluhnya sambil tersenyum sedih.

Dan ia merasa menjadi tugasnya untuk menjelaskan kepada teman‑teman seperjalanannya bahwa wanita yang malang itu perlu dikasihani, karena perang telah merebut putra satu‑satunya, seo‑rang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang mana kedua orang­tuanya telah mencurahkan seluruh hidup mereka untuknya, bahkan sampai meninggalkan rumah mereka di Sulmona untuk mengikutinya ke Roma di mana ia harus melanjutkan studinya. Kemudian melepasnya untuk ikut wajib militer dengan jaminan bahwa paling tidak dalam waktu enam bulan ia tidak akan dikirim ke medan perang, tapi sekonyong‑konyong mereka menerima telegram yang memberitahukan bahwa pemuda itu akan dikirim dalam waktu tiga hari dan meminta mereka berdua supaya mengantar keberangkatannya.

Wanita bermantel besar itu meronta‑ronta kecil di tempat duduknya dan berkali‑kali menggeram seperti seekor binatang buas, dia merasa yakin bahwa segala penjelasan itu tidak akan menumbuh­kan walau hanya sekedar simpati dari orang‑orang itu, yang seba­gian besar sama‑sama bernasib malang seperti dirinya. Salah seorang di antara mereka itu yang mendengarkan dengan perhatian khusus berkata:

“Seharusnya kalian bersyukur karena putra kalian baru sekarang dikirim ke front. Putraku telah dikirim sejak hari pertama pertempuran. Ia sudah dua kali pulang dalam keadaan luka dan setelah sembuh dikirim kembali ke front.”

“Bagaimana denganku? Aku memiliki dua orang putra dan tiga orang kemenakan di medan perang,” sambung penumpang yang lain.

“Mungkin, tapi bagi kami ia adalah anak satu‑satunya,” jawab sang suami membela diri.

“Apa bedanya? Anda bisa saja memanjakan anak satu‑satunya itu dengan perhatian yang berlebihan, tapi anda tidak bisa mencintainya lebih daripada anak‑anak lainnya seandainya anda juga punya. Kasih sayang orangtua tidak sama seperti sepotong kue yang bisa diiris‑iris lalu dibagi rata kepada semua anak. Seorang ayah akan memberika semua kasih sayangnya kepada setiap anaknya tanpa perkecualian, tidak peduli apakah satu atau sepuluh anak. Dan kalau sekarang aku menderita karena dua orang putraku, bukan berarti aku menderita untuk masing‑masing mereka setengah, bahkan penderitaanku berganda….”

“Benar, benar…,” desah sang suami yang nampak malu itu, “tapi seandainya (tentu saja kita semua berharap anda tidak akan pernah mengalaminya) seorang ayah memiliki dua orang putra di garis depan, lalu ia kehilangan salah seorang di antara mereka, maka ia masih memiliki seorang lagi sebagai pelipur laranya, sementara….”

“Ya,” potong temannya, “masih ada seorang anak sebagai pelipur lara baginya. Tapi juga demi anak yang satu itu ia harus tetap mempertahankan hidupnya. Sementara dalam kasus seorang ayah yang memiliki anak tunggal, jika anak itu mati maka sang ayah pun bisa ikut mati dan kesedihannya akan berakhir. Mana di antara dua posisi ini yang lebih buruk? Tidakkah anda lihat bahwa keadaanku bisa lebih buruk daripada keadaan anda?”

Nonsense!” interupsi seorang penumpang yang lain, seorang pria gemuk berwajah kemerahan dengan mata yang lelah.

Napasnya tersengal‑sengal. Dari kedua bola matanya yang menonjol keluar seolah‑olah akan menyemprotkan gejolak dahsyat dalam dirinya yang sudah tak terkendali dan hampir tidak kuat lagi ditanggung oleh tubuhnya yang lemah.

Nonsense,” ulangnya sambil berusaha menutupi mulutnya dengan telapak tangan seakan untuk menyembunyikan dua gigi depannya yang sudah ompong. “Nonsense. Apakah kita memberi kehidupan bagi anak‑anak kita untuk kepentingan kita sendiri?”

Para penumpang yang lain memandangnya dengan bingung. Salah seorang yang tadi anaknya dikirim ke front sejak hari pertama peperangan mendesah, “Anda benar. Anak‑anak kita bukan milik kita, mereka adalah milik negara ….”

Bosh,” potong laki‑laki gemuk tadi. “Apakah kita memikirkan negara saat kita memberi hidup kepada anak‑anak kita? Anak‑anak kita itu lahir … ya … karena mereka memang harus lahir. Dan ketika mereka memasuki kehidupan ini mereka membawa kehidupan kita ke dalam kehidupan mereka. Inilah yang sesungguhnya. Kita milik mereka tapi mereka tidak pernah jadi milik kita. Dan ketika mereka mencapai umur dua puluh, mereka pun sama seperti kita dulu waktu seusia mereka. Kita juga punya ayah dan ibu, namun di samping itu juga ada banyak lagi hal‑hal lainnya … gadis‑gadis, rokok, angan‑angan, dasi baru…dan negara, tentu saja, yang seruannya kita penuhi—ketika kita berumur dua puluh—bahkan walaupun ayah dan ibu tidak mengijinkan. Dalam usia kita yang sekarang ini, rasa cinta kepada tanah air masih tetap besar, tentu saja, tapi lebih kuat daripada itu adalah rasa cinta kepada anak‑anak kita sendiri. Apakah ada di antara kita di sini yang tidak dengan senang hati akan mengambil alih tempat anaknya di medan perang jika saja ia mampu?”

Sunyi. Masing‑masing mengangguk‑angguk seakan setuju.

“Mengapa kemudian,” lanjut laki‑laki gemuk tadi, “kita tidak memikirkan perasaan anak‑anak kita ketika mereka telah berumur dua puluh? Bukankah wajar saja dalam usianya yang sekarang ini mereka seharusnya mencintai negara mereka (tentu saja bagi seorang pemuda yang baik) lebih besar terhadap kecintaan mereka kepada kita? Bukankah wajar saja begitu, paling tidak mereka harus menganggap kita sebagai bocah‑bocah tua yang sudah tidak bisa apa‑apa lagi dan harus tinggal di rumah? Kalau negara ada, kalau negara adalah kebutuhan pokok seperti roti yang mana kita semua harus pergi dan membelanya. Dan putra‑putra kitapun pergi, ketika mereka telah berumur dua puluh. Mereka tidak membutuhkan air mata kita, karena kalau mereka gugur, mereka gugur dengan penuh semangat dan kebahagiaan (bagi seorang pemuda yang baik, tentu saja). Sekarang, jika seseorang mati muda dan bahagia, tanpa memiliki sisi gelap kehidupan, kemuakan terhadapnya, kepicikan, kekecewaan yang pahit … apa lagi yang bisa kita pintakan untuknya? Setiap orang harus berhenti menangis, setiap orang harus tertawa, seperti aku … atau paling tidak bersyukur kepada Tuhan, seperti aku ini. Karena putraku sebelum meninggalnya, mengirimkan pesan kepadaku yang mengatakan bahwa ia mati dalam keadaan puas karena hidupnya berakhir dengan cara terbaik yang dapat diharapkannya. Itulah sebabnya mengapa aku sekarang ini, seperti yang kalian saksikan, tidak bersedih ….”

Ia mengibaskan sebelah sisi belahan mantelnya seakan hendak memamerkannya. Bibir pucatnya yang menutupi gusinya yang ompong bergetar. Kedua bola matanya yang berkaca‑kaca menatap terpaku. Lalu ia mengakhiri kata‑katanya dengan sebuah tawa melengking yang terdengar seperti suara tangis yang terisak‑isak.

“Ya, ya,” yang lain menyetujui.

Sementara perempuan tadi, yang terbungkus dengan mantelnya di pojokan, duduk sambil menyimak penuh perhatian. Sudah selama tiga bulan terakhir ini ia berusaha mencari di antara kata‑kata suaminya dan kawan‑kawannya sendiri sepotong kalimat yang dapat menghiburnya untuk mengatasi kesedihan yang dalam ini. Sepotong kalimat yang dapat menunjukkan kepadanya bagaimana seorang ibu mesti bersedia mengikhlaskan hatinya untuk melepas putranya bukan hanya untuk kematian saja tapi bahkan untuk suatu kehidupan yang berbahaya. Dan dari sekian banyak ucapan‑ucapan itu ia belum menemukan sepatah katapun … dan kesedihannya semakin dalam setelah merasa—menurut dugaannya—tak seorangpun yang dapat berbagi perasaan dengannya.

Akan tetapi sekarang ucapan‑ucapan dari penumpang tadi itu mengejutkannya dan hampir membuatnya pingsan. Tiba‑tiba saja ia menyadari bahwa bukan hanya orang lain saja yang salah dan tidak dapat mengerti, tapi bahkan dia sendiri juga tidak bisa menempatkan dirinya pada tingkatan para ayah dan ibu yang sanggup merelakan, tanpa tangis, bukan hanya untuk kepergian putra mereka saja, namun bahkan untuk kematiannya.

Dia membungkuk di pojokan dan menengadahkan wajahnya sambil berusaha menyimak  dengan teliti atas detil‑detil yang diceritakan oleh laki‑laki gemuk itu kepada teman‑teman seperjalanannya tentang bagaimana ketika putranya itu gugur sebagai seorang pahlawan untuk raja dan negerinya, dengan bahagia dan tanpa penyesalan.

Rasanya bagi perempuan itu dirinya telah tersesat ke suatu dunia yang tak pernah dibayangkannya, dunia yang begitu jauh tak dikenalnya dan dia begitu senang mendengar setiap orang bersama‑sama mengucapkan selamat kepada sang ayah yang tegar itu, yang dapat dengan begitu tabah menceritakan tentang kematian putranya.

Kemudian sekonyong‑konyong, seperti tidak pernah mendengar apa‑apa dari cerita yang baru saja diucapkan tadi dan hampir seperti terbangun dari mimpi, dia bertanya kepada laki‑laki tua itu:

“Lalu, apakah putra anda benar‑benar sudah mati?”

Semua orang kini memandangnya. Laki‑laki tua tadi juga berpaling ke arahnya. Kedua bola matanya yang besar menonjol dan berwarna abu‑abu muda dengan berkaca‑kaca menatap lekat‑lekat ke wajah si perempuan. Untuk beberapa saat ia mencoba menjawab, namun kata‑katanya tersekat di tenggorokan. Ia memandangi dan memandangi terus wanita itu, seakan baru sekarang—karena per­tanyaan yang bodoh dan sembrono itu—tiba‑tiba ia menyadari bahwa pada akhirnya putranya memang sungguh‑sungguh telah mati. Anak itu telah pergi untuk selamanya,  selamanya ….

Wajahnya berkerut, berubah mengerikan, kemudian dengan cepat ia merenggut sehelai sapu tangan dari tasnya dan membuat semua orang terkejut ketika tangisnya meledak di dalam sedu‑sedan yang pedih memilukan hati.

LUIGI PIRANDELLO (1867 ‑ 1936), meskipun kebanyakan masa hidupnya dihabiskan di Roma, namun ia lahir dan berasal dari Sisilia asli. Meski kehidupan rumah tangganya tidak bahagia dan ia tidak merasa cocok dengan karirnya sebagai guru, tapi ia memproduksi banyak karya hebat di bidang cerita pendek, novel dan drama. Penghargaan baru diperolehnya setelah memasuki usia lima puluh tahunan. Di antara karya‑karya besarnya adalah naskah drama yang berjudul Six Character in Search of An Autor dan As You Desire Me. Ia menerima Hadiah Nobel pada tahun 1934.

SUMBER: http://www.geocities.com/muna_qudah/pirandello.html

Posted in Uncategorized | Leave a comment